Di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah, ada sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu berada di ujung desa, dekat dengan hutan bambu yang lebat.Â
Sejak bertahun-tahun, rumah itu terkenal angker. Konon, rumah itu dihuni oleh sosok pocong berwajah gosong. Cerita ini sudah menjadi legenda di kalangan warga desa.
Malam itu, hujan deras mengguyur desa. Petir menyambar-nyambar, menerangi langit yang gelap gulita. Angin berhembus kencang, membuat pohon-pohon bambu di sekitar rumah tua bergoyang seperti sedang menari. Suasana mencekam semakin terasa ketika malam semakin larut.
Di dalam rumah tua itu suasana sangat sunyi. Hanya suara gemuruh hujan dan gelegar petir yang terdengar. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar suara langkah kaki yang pelan namun pasti. Langkah kaki itu seolah-olah berjalan menuju ke arah pintu depan.Â
Sosok dengan wajah tertutup kain kafan yang sudah lusuh, muncul perlahan dari balik pintu. Wajahnya yang gosong terlihat mengerikan, seakan habis terbakar.Â
Sosok pocong itu berjalan dengan lompatannya yang khas, menyusuri koridor rumah yang penuh debu dan sarang laba-laba.
Di salah satu sudut desa, seorang lelaki tua, Pak Rahman, sedang duduk di beranda rumahnya. Dia adalah satu-satunya orang di desa yang pernah melihat pocong berwajah gosong itu dengan mata kepala sendiri.Â
Beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih muda, dia pernah mencoba membuktikan bahwa cerita tentang pocong itu hanya mitos belaka. Namun, apa yang dia lihat malam itu membuatnya tak pernah berani mendekati rumah tua itu lagi.
Ingatan Pak Rahman melayang ke masa lalu. Dia teringat malam itu, malam di mana dia melihat pocong itu untuk pertama kalinya. Dengan senter di tangan, dia memberanikan diri masuk ke rumah tua itu.Â
Ruangan demi ruangan dia telusuri, hingga akhirnya dia sampai di sebuah ruangan besar yang tampaknya pernah digunakan sebagai ruang keluarga. Di tengah ruangan itu, dia melihat sebuah peti mati yang sudah terbuka. Saat itulah, dari dalam peti, sosok pocong itu muncul.Â
Wajahnya yang gosong terlihat begitu jelas di bawah sinar senter. Tanpa berpikir panjang, Pak Rahman lari sekencang-kencangnya, meninggalkan rumah itu dan tak pernah kembali lagi.