Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertaruhan, Di Balik Indahnya Kota Jakarta

13 Juni 2024   09:09 Diperbarui: 13 Juni 2024   10:59 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan dan gedung-gedung tinggi di Jakarta (sumber: mediaindonesia.com)

Jakarta, kota metropolitan yang tidak pernah tidur, memancarkan kemilau modernitas dan janji-janji kemakmuran. 

Dibalik gemerlapnya lampu-lampu neon dan gedung-gedung pencakar langit, ada kehidupan yang jarang terlihat, tersembunyi dalam bayang-bayang.

Fajar baru saja menyingsing ketika Irwan keluar dari rumah petaknya di kawasan padat penduduk di Tanah Abang. Irwan tinggal bersama sang istri, namanya Wati, dan kedua anaknya. Andi yang berusia lima tahun dan Siti yang baru berumur dua tahun. 

Kehidupan mereka sederhana, bahkan bisa dikatakan sulit. Irwan bekerja sebagai tukang ojek online, sementara Wati menjual gorengan di depan rumah.

Pagi itu Irwan harus segera berangkat. Lalu lintas Jakarta yang semrawut memaksanya untuk berangkat lebih awal agar bisa mendapatkan penumpang sejak dini. 

Irwan mengayuh motor tuanya dengan penuh semangat meskipun perutnya belum diisi sarapan. Sesekali ia melirik layar ponsel yang menggantung di stang motornya, menunggu notifikasi pesanan masuk.

Di sisi lain kota, Wati juga memulai harinya. Ia menyiapkan gorengan sambil mengawasi kedua anaknya. Andi membantu sebisanya, sementara Siti bermain dengan mainannya yang sudah usang. 

Kehidupan mereka sehari-hari bergantung pada pendapatan yang tidak seberapa dari hasil penjualan gorengan dan pekerjaan ojek Irwan.

Setelah menunggu beberapa saat, Irwan akhirnya mendapatkan pesanan. Ia menjemput seorang pegawai kantoran yang terburu-buru ke tempat kerjanya. 

Di jalan, Irwan masih harus bersaing dengan ribuan pengendara lain, melawan kemacetan yang seolah tak pernah habis. 

Keringat mengalir di pelipisnya, bukan hanya karena panas, tetapi juga karena tekanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sementara itu, di rumah Wati harus menghadapi tantangan tersendiri. Seorang petugas keamanan lingkungan datang dan menagih uang keamanan yang bulan ini belum sempat mereka bayar. 

Wati menjelaskan bahwa mereka belum memiliki uang karena penghasilan bulan ini sangat kecil, tetapi petugas tersebut tetap menuntut. 

Wati merasa frustasi, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba menjual lebih banyak gorengan.

Waktu berlalu, dan siang hari tiba. Irwan sudah mengantar beberapa penumpang, namun hasilnya masih jauh dari cukup. 

Tidak lama berselang Irwan singgah di sebuah warung untuk membeli sebotol air dan sepotong roti, satu-satunya makanan yang bisa ia beli hari itu. 

Irwan merenung sejenak, memikirkan masa depan keluarganya. Pendidikan Andi dan Siti menjadi kekhawatiran utamanya. Ia ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, namun biaya sekolah semakin hari semakin mahal.

Ketika malam menjelang, Irwan kembali ke rumah dengan sisa-sisa tenaga. Wati menyambutnya dengan senyum meskipun kelelahan juga terlihat di wajahnya. 

Mereka berbagi cerita tentang hari mereka masing-masing. Anak-anak sudah tertidur, kelelahan setelah bermain seharian. 

Di ruang tamu yang sempit itu, mereka berdua duduk bersandar di dinding, merasakan kehangatan kebersamaan yang sederhana.

"Besok kita harus bayar uang keamanan," kata Wati dengan suara pelan.

Irwan hanya mengangguk, memikirkan bagaimana ia bisa mendapatkan uang tersebut. Mereka berdua tahu bahwa hidup di Jakarta bukanlah hal yang mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus bertahan demi masa depan anak-anak mereka.

Pagi berikutnya, Irwan bangun lebih pagi dari biasanya. Ia memutuskan untuk mencoba peruntungan di daerah yang lebih ramai dengan harapan bisa mendapatkan lebih banyak penumpang. 

Dengan tekad yang kuat, ia mengayuh motornya menuju pusat kota. Perjalanan panjang dan melelahkan, namun ia berhasil mendapatkan beberapa pesanan.

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, ia melihat sekelompok pekerja kantoran yang tampak sibuk dengan aktivitas mereka. 

Sekali lagi, Irwan kembali merenung, membayangkan bagaimana rasanya bekerja di dalam gedung megah dengan pendingin ruangan yang nyaman. 

Irwan segera menyadari bahwa setiap orang memiliki tantangan masing-masing, dan ia harus bersyukur dengan apa yang dimilikinya.

Sementara itu, di rumah Wati berusaha menjual lebih banyak gorengan. Ia mencoba berinovasi dengan membuat variasi baru untuk menarik lebih banyak pembeli.

Di sela-sela kesibukannya, ia juga mengajarkan Andi membaca dan menulis. Ia tahu bahwa pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan yang mereka alami.

Hari itu Irwan berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membayar uang keamanan. Meskipun lelah, ia pulang dengan perasaan lega. 

Wati menyambutnya dengan wajah cerah, dan mereka berdua merasa optimis untuk menghadapi hari-hari berikutnya.

Malam itu, setelah anak-anak tertidur, Irwan dan Wati berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Mereka ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anak-anak mereka, meskipun mereka tahu bahwa jalan yang harus dilalui tidaklah mudah.

"Kita harus terus berjuang," kata Irwan dengan suara mantap. "Untuk Andi dan Siti."

Wati mengangguk setuju. Mereka berdua tahu bahwa Jakarta adalah kota yang keras, tetapi juga penuh dengan peluang bagi mereka yang mau berusaha.

Hari demi hari berlalu, dan Irwan serta Wati terus berjuang. Kehidupan mereka mungkin tidak mudah, tetapi mereka memiliki satu sama lain dan cinta yang tulus untuk keluarga mereka. 

Dalam kerasnya kehidupan di kota besar, mereka menemukan kekuatan dalam kebersamaan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. 

Di balik gemerlap Jakarta, ada kisah-kisah perjuangan yang penuh dengan haru dan inspirasi, dan Irwan serta Wati adalah salah satu dari kisah-kisah itu.

Ketahuilah teman, keindahan Jakarta yang kalian lihat di media sosial hanya satu kemegahan dari jutaan penderitaan yang sebenarnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun