Pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan terbaru yang menetapkan pemotongan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi para pegawai negeri sipil dan karyawan swasta sesuai dengan amendemen Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020.
Tapera adalah program tabungan perumahan yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia untuk membantu masyarakat menabung secara kolektif guna membeli atau memperbaiki rumah.Â
Skema ini melibatkan pekerja formal dan perusahaan, di mana sebagian pendapatan pekerja dialokasikan ke dalam tapera.Â
Dana tersebut kemudian dikelola oleh lembaga keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk diinvestasikan dalam instrumen keuangan yang aman dan berkelanjutan.Â
Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kepemilikan rumah di kalangan masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor perumahan.
Pemerintah akan tetap melaksanakan kewajiban Tapera bagi para pekerja, meskipun mendapat kritik dari berbagai pihak.Â
Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan, menegaskan bahwa Tapera tidak akan ditunda meskipun belum diimplementasikan secara penuh sejak perubahan dari Bapertarum ke Tapera tahun 2020 hingga 2024.Â
Bagi PNS implementasi Tapera akan dilakukan setelah diterbitkannya peraturan menteri dari Kementerian Keuangan, sementara bagi pekerja swasta, iuran Tapera akan diberlakukan setelah ada peraturan dari Menteri Ketenagakerjaan.Â
Pekerja diwajibkan untuk mengikuti Tapera, dan ada sanksi bagi yang tidak melaksanakannya.
Merespon hal tersebut, ribuan pekerja akan melakukan demonstrasi di depan Istana pada Kamis, 6 Juni 2024, menentang kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).Â
Presiden Partai Buruh dan Presiden KSPI, Said Iqbal, menyampaikan hal tersebut secara resmi pada Rabu, 5 Juni 2024.Â
Aksi tersebut dijadwalkan dimulai pukul 10.00 WIB di depan Balaikota, kemudian peserta akan bergerak menuju Istana Kepresidenan melalui kawasan Patung Kuda.
Said Iqbal menyatakan bahwa demonstrasi tersebut dilakukan karena kebijakan Tapera dianggap merugikan dan memberatkan pekerja dengan pembayaran iuran.Â
Meskipun pekerja membayar iuran selama 10 hingga 20 tahun, mereka tetap tidak memiliki jaminan untuk memiliki rumah.Â
Said juga mengkritik Pemerintah karena tidak bertanggung jawab dalam menyediakan perumahan, hanya mengumpulkan iuran tanpa mengalokasikan dana dari APBN atau APBD.Â
Dia juga menyoroti risiko korupsi dana Tapera serta ketidakjelasan dan kompleksitas dalam pencairan dana.
"Aliran dan yang kurang jelas rawan akan tindak korupsi," jelas Said Iqbal.
Ketakutan masyarakat tentu sangat beralasan. Korupsi di Indonesia masih besar karena faktor-faktor kompleks seperti lemahnya penegakan hukum, kurangnya transparansi dalam pemerintahan, budaya toleransi terhadap praktik korupsi, dan kurangnya kesadaran akan dampak negatifnya pada masyarakat.
Mulai dari kasus korupsi Asabri, Surya Darmadi, Jiwasraya, E-KTP, dan yang terbaru korupsi komoditas timah oleh suami Sandra Dewi.
Korupsi merupakan masalah yang memerlukan upaya berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mengatasinya.Â
Sayangnya sampai saat ini korupsi seakan sudah mendarah daging dan sudah membudaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H