Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bocah Pemulung dan Kejamnya Sistem Pendidikan "Konoha"

1 Juni 2024   06:00 Diperbarui: 1 Juni 2024   06:29 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemulung kecil (foto: kompas.id)

Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, hiduplah seorang anak kecil bernama Rian. 

Rian adalah seorang pemulung cilik yang tinggal bersama ibunya, Maria, di sebuah gubuk kecil di pinggiran kota. Ayahnya telah meninggalkan mereka ketika Rian masih bayi, meninggalkan beban hidup yang berat pada pundak Maria.

Setiap pagi sebelum matahari menyapa dunia, Rian sudah bangun dan bersiap-siap untuk mengembara di jalanan kota. 

Bermodal sebuah gerobak tua yang ditariknya, ia berkeliling mengumpulkan barang-barang bekas yang bisa dijual.

Sebagai anak muda, Rian sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Bagi Rian, mencari barang bekas adalah satu-satunya cara untuk membantu ibunya.

Dibalik senyumnya yang ramah, tersembunyi impian besar yang ingin ia wujudkan. Rian sangat menyukai belajar, dan setiap kali ia melihat anak-anak lain berangkat ke sekolah, hatinya selalu merasa cemburu. 

Ia bermimpi suatu hari nanti bisa duduk di bangku sekolah, memegang buku-buku pelajaran seperti yang selalu ia lihat dari jendela gubuknya.

Suatu hari, ketika Rian sedang sibuk mencari barang bekas di sebuah tumpukan sampah, ia menemukan selembar kertas yang terlipat. Dengan rasa penasaran, ia membukanya dan terkejut melihat gambar sekolah di atasnya. Ternyata itu adalah brosur sekolah lokal yang memberikan informasi tentang penerimaan siswa baru.

Mata Rian berbinar-binar saat membaca informasi itu. Ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk mewujudkan mimpinya. Saat ia melihat bagian biaya sekolah, senyumnya memudar.

Biaya yang tertera di brosur itu jauh melebihi apa yang bisa ia bayangkan. Ia merasa putus asa, karena bagaimanapun juga, uang yang ia dapatkan dari mengumpulkan barang bekas tidak akan mencukupi.

Ketika pulang ke gubuk, Rian tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia duduk di samping ibunya sambil menunjukkan brosur sekolah itu. "Mama, aku ingin sekolah," ucapnya pelan, suara gemetar.

Maria melihat ekspresi putranya dan mendekatinya.

"Sayangku, aku tahu betapa besar impianmu untuk sekolah. Tapi kita tidak punya cukup uang untuk itu," kata Maria dengan suara lembut.

Rian menundukkan kepala, merasa sedih dan frustasi. Namun, di tengah keputus asaan, ia merasa ada semacam api yang menyala di dalam dirinya. Ia bertekad untuk tidak menyerah begitu saja.

Bermodal tekad yang bulat, Rian memutuskan untuk mencari cara agar bisa mengumpulkan uang lebih banyak.

Setiap hari, setelah pulang dari mencari barang bekas, ia akan menjual bunga-bunga liar yang ia petik di pinggir jalan. Meskipun hasilnya tidak seberapa, setiap sen yang ia kumpulkan, tidak lupa untuk disimpan dengan teliti di dalam sebuah celengan yang ia buat sendiri dari botol plastik bekas.

Waktu berlalu, dan setiap hari Rian terus bekerja keras untuk mencapai mimpinya. Ia menjadi semakin mahir dalam mencari barang-barang yang bisa dijual, dan usahanya dalam menjual bunga-bunga liar pun semakin berhasil, meskipun masih jauh dari mencukupi biaya sekolah, ia tidak menyerah.

Suatu hari ketika sedang menjelajahi tumpukan sampah di pinggiran kota, Rian secara tidak sengaja mendengar percakapan dua orang dewasa di dekatnya.

Mereka membicarakan program beasiswa untuk anak-anak kurang mampu di kota tersebut. Mata Rian berbinar kembali, ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan lain yang bisa ia kejar.

Rian yang dikenal tekun semangat untuk mencari informasi tentang program beasiswa itu. Setelah mengumpulkan semua persyaratan yang diperlukan, ia dengan berani mengajukan diri sebagai calon penerima beasiswa. 

Rian menceritakan dengan jujur tentang keinginannya untuk sekolah dan betapa ia sangat berusaha untuk mencapainya.

Tidak lama kemudian, Rian menerima kabar gembira bahwa ia telah diterima sebagai salah satu penerima beasiswa. 

Rian tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, ia melompat-lompat dan memeluk ibunya erat-erat. Hari itu menjadi salah satu hari terbahagia dalam hidupnya.

Dengan beasiswa itu, Rian akhirnya bisa mewujudkan mimpinya untuk bersekolah. 

Rian masuk ke sekolah lokal dan dengan tekad yang sama seperti saat mencari barang bekas, belajar dengan giat. Disisi lain, ia harus bekerja keras dan menghadapi banyak tantangan di sekolah, Rian tidak pernah menyerah.

Rian telah tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan berbakat. Ia belajar tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membuktikan bahwa kegigihannya bisa mengubah nasib. 

Rian menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya, bahwa dengan tekad dan kerja keras, impian apapun bisa menjadi kenyataan.

Kisah Rian mengingatkan kita bahwa meskipun terkadang hidup memberikan tantangan yang sulit, namun dengan semangat dan tekad yang kuat, kita bisa mengatasi semua halangan.

Hari-hari Rian yang penuh semangat dan tekad akhirnya terhenti secara tiba-tiba. 

Beberapa bulan setelah ia mulai bersekolah, kabar buruk menimpanya. Program beasiswa yang telah memberinya kesempatan untuk bersekolah tiba-tiba dihentikan karena masalah anggaran. Rian terkejut dan merasa hancur oleh berita tersebut.

Dalam keputusasaan, Rian mencoba mencari solusi. Ia meminta bantuan kepada ibunya dan mencoba mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengumpulkan uang demi melanjutkan sekolahnya, sayang usaha-usahanya tidak berhasil. 

Penghasilan yang ia dapatkan tidak cukup untuk membayar biaya sekolah yang semakin meningkat.

Lagi-lagi dalam situasi yang putus asa, Rian merasa terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Rian terpaksa meninggalkan sekolah dan kembali ke kehidupan sebagai pemulung cilik. 

Setiap hari, ia kembali berkeliling jalanan kota dengan gerobak tua, mencari barang bekas untuk dijual. Namun, kini hatinya terasa berat dan penuh dengan penyesalan.

Ibunya, Maria sangat sedih melihat putranya kembali ke kehidupan yang keras dan tidak pasti. Namun, tanpa opsi lain yang tersedia, mereka terpaksa menerima kenyataan pahit ini.

Hari demi hari berlalu, dan Rian terus menjalani hidupnya sebagai pemulung cilik. Setiap kali ia melihat anak-anak lain pergi ke sekolah dengan senyum di wajah mereka, ia merasa semakin hancur dan tertekan. Mimpi untuk mendapatkan pendidikan yang layak kini terasa semakin jauh dari jangkauannya.

Untuk kesekiankalinya, dalam kesedihan dan keputus asaan, Rian bertanya-tanya apakah hidupnya akan pernah berubah.

Tanpa dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada mereka yang kurang mampu, ia merasa terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tidak berujung.

Kisah Rian mengingatkan kita bahwa terkadang dalam kehidupan, bahkan dengan tekad dan semangat yang kuat, kita tetap bisa terhalang oleh tantangan yang sulit. 

Tanpa sistem pendidikan yang inklusif dan dukungan bagi mereka yang kurang mampu, banyak potensi yang terbuang sia-sia.

Semua bertanya, dimana Rian berada, semua mata menyebutnya "Konoha" yang tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun