Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa anggaran desa merupakan dana yang paling rentan untuk dikorupsi. Berdasarkan survei ICW pada semester 1 tahun 2021, peneliti ICW, Lalola Ester mencatat setidaknya ada 62 kasus korupsi yang dilakukan oleh para aparat pemerintahan desa.
Korupsi di Indonesia memang sudah bukan menjadi rahasia lagi, setiap hari di layar televisi, kita disajikan pemberitaan kasus korupsi yang dilakukan oleh para aparat pemerintah, baik aparat dari pemerintahan pusat, daerah, bahkan desa.
Bukan malah mensejahterahkan masyarakat desa, malah membanjirkan uang rakyat dirumah. Tentu hal ini sangat merugikan masyarakat, utamanya masyarakat kecil, dimana hak mereka memperoleh anggaran dari negara terenggut begitu saja oleh para tangan-tangan tak bertanggungjawab.
Korupsi anggaran desa tercatat kerap menimpa kepala desa. Kasus korupsi yang kerap terjadi di setiap sektor pemerintahan pusat sampai turun ke desa ditengarahi oleh hukuman yang terbilang ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para koruptor.
Terlebih lagi, adanya fasilitas remisi bagi koruptor. Remisi merupakan pengurangan masa hukuman untuk para terpidana yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut adalah contoh kasus korupsi anggaran desa yang terjadi pada tahun 2021 ini.
1. Korupsi dana desa yang dilakukan oleh Kepala Desa Muara Payang dalam pengelolaa  keuangan desa tahun 2017, 2018, dan 2019. Penanganan kasus ini dilakukan pada awal September 2021.
2. Kasus penyalahgunaan anggaran dana desa yang dilakukan oleh salah satu PNS bernama Sasmita yang merupakan salah satu aparat di Pemerintahan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Ia menyalahgunakan seluruh anggaran desa yang ada di Kabupaten Landak. Penanganan kasus ini dilakukan pada Agustus 2021.
3. Korupsi yang dilakukan mantan kades Unda'an Lor, Kecamatan Unda'an, Kudus, Jawa Tengah. Ia menyisihkan dana desa pada dirinya sendiri. Akibatnya Desa Unda'an mengalami kerugian hingga 200 juta. Penanganan kasus ini dilakukan pada Agustus 2021.
Dari beberapa kasus diatas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa pemerintah diatas desa pun ikut memulai korupsi.
Tindakan ilegal dan amoral yang disebut korupsi ini akan terus terjadi di Indonesia selama hukum terhadap para koruptor masih bisa dibilang 'lembek'.
Kita bisa ambil contoh, kasus pencurian ayam, dimana tersangka kemungkinan terancam 7 tahun penjara, sedangkan para koruptor, rata-rata di Indonesia hukumannya hanya berkisar 2 tahun sampai 5 tahun.
Korupsi akan berhenti bila semua lini pemerintahan di suatu negara bisa ditertibkan, karena terjadinya korupsi dipemerintahan desa tentu mengacu pada masih banyaknya aparat pemerintah pusat, kabupaten, maupun daerah yang melakukan korupsi, sehingga dicontoh oleh aparat pemerintahan dibawahnya.
Apa perlu menerapkan hukum potong tangan bagi para pencuri dan koruptor seperti di Timur Tengah, tentu tidak kan.
Selain dengan peraturan dan hukuman yang harus lebih dipertegas, supaya tidak terjadi kembali kasus penyalahgunaan anggaran dana, pemerintah pusat harus menunjukan rincian dana yang akan turun untuk dicairkan sebagai anggaran pemerintahan daerah sampai dengan pemerintahan desa. Dengan begitu, akan tercipta transparansi yang jelas mengenai aliran dana anggaran tersebut.
Penerapannya dengan mengadakan rapat besar yang melibatkan presiden dan menkeu dengan  bahasan anggaran negara yang akan dicairkan ke seluruh lini pemerintahan, serta disiarkan langsung di seluruh televisi Indonesia. Supaya masyarakat tau rincian penggunaan anggaran untuk keperluan apa saja.
Pemerintah daerah dan desa pun harus menyiarkan langsung rincian anggaran yang masuk dari pemerintah pusat, bisa lewat langsung, maupun siaran melalui media sosial, seperti youtube.
Sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak menyesuaikan perkembangan teknologi dalam penerapan sistem pemerintahan yang lebih modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H