Mohon tunggu...
Andri Pratama Saputra
Andri Pratama Saputra Mohon Tunggu... Bankir - Seorang yang ingin selalu belajar dan saling berbagi pengetahuan

Seorang yang ingin selalu belajar dan saling berbagi pengetahuan #RI #BudayaReview

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Instrumen Kebijakan Makroprudensial sebagai Pencegah Risiko Sistemik

25 November 2022   10:45 Diperbarui: 25 November 2022   10:46 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: money.kompas.com

Pengalaman krisis 2008 telah menyebabkan kesadaran pentingnya kebijakan makroprudensial sebagai penahan risiko sistemik agar tidak terjadi kembali. Kebijakan makroprudensial memiliki instrument kebijakan, Agung, dkk (2021) menyebutkan terdapat beberapa instrument kebijakan  makroprudensial yakni:

1) Dimensi countercyclical pada instrument time varying

Kebijakan makroprudensial bersifat time varying mempunyai dimensi countercyclical yang bertujuan menekan risiko sistemik melalui pengetatan ketika boom dan pelonggaran ketika bust yang diimplementasikan oleh BI seperti countercyclical capital buffer (CCB), rasio intermediasi makroprudensial IRIM), dan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM).

Instrumen ini dirancang untuk memitigasi risiko dalam menangai perilaku prosiklikalitas (ambil risiko yang berlebihan) termasuk di dalam rumah tangga dan kelompok tertentu. Perilaku ambil risiko berlebihan ketika ekonomi sedang baik akan berdampak negative sehingga diperlukan benteng untuk menyerap risiko dan mencegah risiko yang berlebihan.

Pada prekteknya, ketika ekonomi boom, bank akan diminta untuk menjaga permodalannya khususnya ketika diperlukan, sedangkan ketika ekonomi sedang bust, bank akan dipupuk likuiditas dan membatasi pengambilan risiko berlebihan.

2) Countercyclical Capital Buffer (CCB)

Dalam CCB, bank diwajibkan menambah atau mengurangi modal berdasarkan risiko sistemik yang diukur dengan credit to GDP gap sebagai indicator.

Credit gap digunakan sebagai indicator dalam mendeteksi ketidakseimbangan makrofinansial yang memicu krisis perbankan. CCB memiliki tujuan yaitu mencegah meningkatnya risiko sistemik yang berasal dari pertumbuhan kredit secara berlebihan dan meningkatkan benteng dalam menyerap kerugian.

CCB dilakukan berlawanan dengan siklus ekonkmi, yaitu dapat berubah seiring dengan sistem keuangan dan makroekonomi. Ketika fase ekspansi dan kredit berlebihan, bank diwajibkan menambah modal CCB, ketika fase kontraksi, bank dapat melepas atau mengurangi CCB agar dapat memanfaatkan modal dalam memberikan kredit. Pada mulanya, BCBS menggunakan rate 0,2,5% dari ATMR dan dapat berubah sesuai kondisi.

3) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM)

RIM yang memperhatikan risiko sistemik dan berkontribusi untuk memenuhi pembiayaan. RIM dan RIM syariah adalah instrument time varying yang bertujuan mengelola intermediasi perbankan agar sesuai kapasitas dan target pertumbuhan dan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian . RIM memperhatikan likuiditas dengan kewajiban giro yang disimpan di BI. Bank yang berada diluar kisaran RIM, akan dikenakan kewajiban penamahan RIM yang bertujuan mengurangi perilaku mengambil risiko secara berlebihan.

Kebijakan giro wajib minimum (GWM) digunakan sebagai instrument moneter denagn pengelolaan kredit dan money supply, dan makroprudensial sebagai countercyclical yang memastikan bank memiliki likuiditas yang cukup dalam memenuhi dana.

RIM menggantikan Loan to Funding Ratio (LFR) dengan memperluas pembiayaan termasuk surat berharga baik syariah atau konvensional. Hal ini bertujuan memperkuat peran perbankan dalam pembiayaan. Tarteg atas dan bawah ditetapkan 80-92% dan kelonggaran sebesar CAR>14%.

4) Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM)

Pasca krisis 2008, likuiditas menjadi perhatian dan respon kebijakan global melalui Liquidity Coverage Ratio (LCR) masing-masing sebesar 100% guna meningkatkan ketahanan individu bank dalam jangka pendek.

Tahun 2018, instrument GWM sekunder berubah menjadi PLM yang memitigasi perilaku prosiklitas likuiditas pada bank. PLM merupakan cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang dipelihara oelh bank baik konvensional atau syariah. Bank harus menjaga kecukupan aset yang dapat diperjualbelikan dengan mudah. Kebijakan PLM bersitaf dinamis, ketika likuiditas meningkat maka PLM akan diketatkan, ketika likuiditas terkuras maka PLM akan dilonggarkan. Besaran PLM ditetapkan oleh BI yang awalnya 4% namun dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian.

5) Dynamic Provisioning (DP)

DP menerapkan kondep pemupukan loan loss provision  (LLP) berdasarkan perhitungan statistic risiko rerata yang dihadapi oleh bank. Bank yang memiliki risiko tinggi harus memupuk LLP yang lebih tinggi termasuk saat periode boom dmana risiko dinilai rendah. Semakin tinggi penyaluran kredit, maka LLP semakin tinggi untuk diakumulasi. Bank akan memiliki cadangan LLP ketika periode bust tanpa harus menambah LLP.

Karakteristik DP bergantung pada setiap negara antara lain: 1) apakah sifat sama untuk semua produk dan jenis bank termasuk spesifikasinya, 2) formula yang digunakan ntuk besaran DP

Daftar Pustaka

 Agung, Juda., Harun, Cicillia., Elis Deriantino. 2021. Kebijakan Makroprudensial di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun