Kebebasan bersuara merupakan suatu hal yang membahagiakan meskipun tidak berbentuk uang atau barang. Iya, bagaimana tidak, ketika masa Orde Baru bersuara menjadi dibatasi, kini setiap orang dapat bersuara.
Sejak adanya UU No. 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers adalah Hak Asasi Manusia. Dari sanalah kita dapat bersuara menyampaikan aspirasi namun tetap bebas tetapi bertanggung jawab.
Kebebasan pers dijamin sebagai Hak Asasi Manusia, Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi" Bunyi UU No. 40 Tahun 1999
Sebenarnya kebebasan berpendapat sudah tercantum di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat", artinya kebebasan bersuara adalah hak mutlak setiap warga negara. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kebebasan tersebut dapat secara bebas diutarakan? atau hanya sebuah kooptasi?
Peran masyarakat sangat penting khususnya di negara demokrasi seperti Indonesia. Dominasi pemerintah sering memobilisasi massa untuk memutuskan kebijakan tertentu dengan berbagai alasan. Masyarakat tak bisa berbuat banyak ketika akses partisipasi ditutup, sehingga pemerintah tidak akuntabel dan dengan leluasa membuat kebijakan.
Peran masyarakat dalam berpartisipasi menjadi minim karena kurangnya pengetahuan politik dan kurang maksimalnya saluran partisipasi. Saluran partisipasi seperti Pemilihan Umum dan Daerah tak jarang terdapat banyaknya golongan putih.
Mereka menganggap partisipasi masyarakat dalam politik adalah hal yang sulit karena bagi mereka politik tidak menyalurkan kepentingan mereka. Saluran partisipasi seolah menjadi "formalitas" yang akhirnya berpihak kepada "sang pemilik modal".
Selama ini Peraturan Daerah (Perda) dijadikan sebagai "formalitas", yang tujuannya adalah untuk meningkatkan penilaian kinerja mereka baik khususnya dari lembaga di atasnya bukan untuk penyelesaian aspirasi. Selain itu, saluran partisipasi dalam memobilisasi partisipasi masyarakat ialah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.
Bak kepala dibiarkan tetapi ekor ditarik, permasalahan yang sering terjadi ialah "kooptasi terselubung" di negeri ini
Tak sedikit LSM dan media tertentu yang seharusnya menyuarakan hati masyarakat sering tidak berani melakukannya karena telah "dikunci mulutnya ".
Permasalahan partisipasi masyarakat merupakan hal kompleks, faktor Leadership baik pemerintah pusat atau daerah sangat berpengaruh dalam hal ini. Rendahnya saluran partisipasi dan transparansi khususnya dalam menyusun Peraturan Daerah serta banyaknya media dan LSM yang dengan mudah dikooptasi pemerintah menjadi persoalan yang rumit.
Persoalan tersebut menjadikan masyarakat cenderung acuh terhadap pemerintahan. Semua itu tak terlepas dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap saluran partisipasi Indonesia.
Pentingnya pendidikan politik sejak dini dalam mengantisipasi kooptasi LSM dan individu serta ketersediaan saluran partisipasi independen baik dari media, lembaga resmi dan LSM menjadi cara yang ampuh dalam mengontrol kebijakan pemerintah dan menggerakkan masyarakat dalam memilih pemimpin yang berkualitas, sehingga output pemerintah seperti kebijakan dan program adalah cerminan dari tingginya partisipasi masyarakat.
Kritik dan partisipasi masyarakat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI