Mohon tunggu...
Andri Wijaya
Andri Wijaya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar menulis. Sila tengok blog saya andri0204.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Natal, Pengusaha Tionghoa, dan Topi Sinterklas

19 Desember 2014   20:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini majalah Forbes merilis survey 50 orang terkaya di Indonesia tahun 2014. Klasik, dari nama-nama tersebut pengusaha beretnis Tionghoa masih mendominasi seperti tahun-tahun sebelumnya. Michael dan Budi Hartono, pemilik rokok Djarum superd dan Bank Central Asia (BCA), tetap berada di posisi nomor satu orang terkaya sejagat Indonesia. Kekayaan Michael dan Budi Hartono sekitar 16.5 miliar dolar atau senilai 214.5 triliun rupiah yang menempatkan mereka berdua di posisi 173 orang terkaya di dunia di bawah Bill gates, Warren buffet dan para triliuner lainnya.

Sebagai gambaran betapa kayanya kakak-beradik ini kita bisa dengan mudah mengkalkulasi kekayaan tersebut habis dibagi ke 250 juta penduduk Indonesia dengan masing-masing orang mendapatkan hampir sekitar 1 juta rupiah. Jika kekayaan tersebut dimuat dalam pecahan uang kertas seratus ribu rupiah lalu dijajarkan maka panjang uang tersebut dapat digunakan untuk mengitari bumi sebanyak 25 kali. Atau jika harus dikonversi menjadi pecahan logam seribu rupiah maka panjang uang tersebut sama dengan 13 kali jarak bumi ke bulan.

Perekonomian negeri ini sangat bergantung pada sepak terjang warga etnis Tionghoa. Dalam sebuah status facebook yang dibagikan oleh Tarli Nugroho disebutkan bahwa warga Indonesia keturunan tionghoa berjumlah sekitar 5% dari total penduduk namun dengan jumlah tersebut mereka mampu menguasai 70% perekonomian Indonesia. Sungguh suatu abstraksi dari pareto ekonomi yang sangat signifikan.

Dalam skala yang lebih kecil, kita bisa dengan mudahnya mendapati cici atau koko lah yang lebih banyak menguasai pasar, terutama pasar modern. Coba tengok ke lingkungan sekitarmu, mulai dari pedagang kelontong, pemilik mini market, owner bengkel rata-rata dipunyai oleh mereka.

Sebenarnya dominasi warga Indonesia keturunan tionghoa dalam perekonomian Indonesia bukan terjadi baru-baru ini saja. Sejak jaman penjajahan belanda, mereka telah menjadi warga ‘kelas dua’ setelah penjajah. Perekonomian negeri ini sejogjanya sudah mereka kuasai sejak lama. Bahkan istilah tauke mengacu kepada orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menopang kebutuhan finansial para pribumi yang ingin menjadi ambtenaar. Jadi, jejak-jejak kuatnya cengkraman warga keturunan dalam perekonomian Indonesia sudah ada bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.

Benar, sejak era reformasi warga keturunan semakin unjuk gigi dan tidak lagi menyembunyikan identitas dan kekuatan finansial yang mereka bangun. Terlebih sejak era Gus Dur menjadi presiden.

Jika kita mengamati pola perilaku manusia dalam berinteraksi sosial, kita bisa menemukan suatu konsep perulangan tema yang kontroversial, kontradiktif untuk dibahas setiap tahunnya. Mulai dari konflik Ibu Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita, penentuan kapan hari raya hingga halal haramnya mengucapkan selamat natal bagi umat muslim.

Kontroversi seputar hal terakhir yang disebutkan sudah menjadi konsumsi rutin yang sepertinya tidak pernah bosan untuk diperbincangkan. Segala jenis opini, fatwa, pandangan dikemukakan oleh masing-masing individu yang mendukung ataupun menolak. Padahal sebenarnya simpel saja. Para ulama pun berbeda pendapat tentang kebolehan untuk mengucapkan selamat untuk pemeluk agama kristiani pada tanggal 25 Desember. Sebagian ulama melarang hingga mengharamkan dan sebagian lagi cenderung lebih lunak dengan tidak melarang secara keras, jika tidak ingin dianggap ‘membolehkan’. Tinggal bagi kita adalah keyakinan mana yang kita pegang untuk hal ini. Toleransi sebenarnya tidak diukur dari apakah saya mengucapkan selamat natal atau tidak. Dengan leluasanya umat agama lain beribadah tanpa adanya ancaman dan gangguan sudah cukup menjadi refleksi bagaimana umat beragama di Indonesia sudah saling bertoleransi.

Belakangan ini tengah berkembang dengan masif berita tentang upaya untuk menghentikan bentuk-bentuk keturutsertaan muslim dalam ‘tradisi’ natal. Di berbagai jejaring sosial kita mendapati perang opini tentang muslim yang diharuskan untuk mengenakan topi sinterklas menjelang 25 Desember.

Dari banyak referensi, kita bisa mendapatkan informasi bahwa sinterklas atau santa claus tidak ada hubungan sama sekali dengan ajaran kristen lebih-lebih perayaan natal. Cerita tentang Santa Claus berkisah tentang seorang uskup bernama Santo Nikolas (Nicholas) yang hidup di Turki. Sang uskup sangat baik kepada semua orang terutama anak kecil. Ia senang membagi-bagikan hadiah untuk anak yang tidak beruntung. Dalam perkembangannya, Santo Nikolas atau sinterklas kemudian dijelmakan sebagai sosok kakek tua yang mengendarai rusa dan membagi-bagikan hadiah lewat cerobong asap pada malam natal. Sebuah dongeng asli eropa yang kemudian turut disebarkan ke Indonesia bersamaan dengan masuknya ekspedisi bangsa kulit putih ke nusantara.

Benar memang topi sinterklas bukan simbol agama mana pun. Namun dalam keberjalanannya, topi sinterklas sudah menjadi ikon dan bagian dari perayaan natal itu sendiri. Dengan alasan tersebut harusnya disadari bahwa mengenakan topi sinterklas seolah sudah mendukung perayaan natal itu sendiri padahal dalam ajaran islam hal tersebut tidak dibenarkan.

Konflik-konflik yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari pertarungan hegemoni dalam ranah ekonomi. Siapa saja yang berhasil menguasai perekonomian suatu bangsa/negara maka seolah urat nadi bangsa tersebut sudah berada di tangannya.

Berkaca lebih jauh, para pemilik mal-mal besar, gedung perkantoran nan megah, hotel-hotel berbintang tak terlepas dari etnis tionghoa yang notabene penganut agama katolik atau protestan. Tanpa sepengetahuan atau bahkan seizin mereka, rasanya tidak mungkin perayaan natal dengan melibatkan muslim agar mengenakan topi sinterklas di tempat mereka bekerja akan terlaksana. Bentuk ‘pemaksaan’ pengenaan atribut natal sebenarnya sudah lama mendapatkan sorotan. Namun sepertinya tidak ada upaya tegas dari pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah ini.

Tidak semua perusahaan yang ‘mewajibkan’ karyawannya mengenakan atribut natal adalah milik pengusaha keturunan tionghoa. Dan juga tidak semua pengusaha etnis Tionghoa mewajibkan topi sinterklas dan perangkatnya bagi karyawan yang bekerja di perusahaan mereka.

Kalau saja kita boleh berandai-andai hotel, gedung pencakar langit, mal-mal megah itu adalah milik muslim mungkin tidak perlu setiap tahunnya Fahira Idris berteriak lantang menentang topi sinterklas untuk muslim. Namun sejauh ini peradaban gemilang muslim yang pernah ada berabad-abad lalu hanya tinggal ulasan sejarah.

Jadi rasanya ‘konflik’ seputar tiga kata ‘selamat hari natal’ akan terjadi setiap tahunnya. Selama pihak yang mempunyai otoritas untuk menengahi masalah ini hanya diam maka drama-drama ‘pertarungan ideologi’ akan terus memenuhi kehidupan kita di dunia nyata dan lebih banyak lagi di dunia maya. Akan banyak upaya-upaya ‘mentoleransi’ agama lain hingga pada akhirnya identitas agama sendiri akan hilang. Bukankah memang itu yang diinginkan oleh mereka seperti layaknya teori global theology yang menghapus sekat antar agama itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun