Mohon tunggu...
Andri Wijaya
Andri Wijaya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar menulis. Sila tengok blog saya andri0204.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Natal, Pengusaha Tionghoa, dan Topi Sinterklas

19 Desember 2014   20:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik-konflik yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari pertarungan hegemoni dalam ranah ekonomi. Siapa saja yang berhasil menguasai perekonomian suatu bangsa/negara maka seolah urat nadi bangsa tersebut sudah berada di tangannya.

Berkaca lebih jauh, para pemilik mal-mal besar, gedung perkantoran nan megah, hotel-hotel berbintang tak terlepas dari etnis tionghoa yang notabene penganut agama katolik atau protestan. Tanpa sepengetahuan atau bahkan seizin mereka, rasanya tidak mungkin perayaan natal dengan melibatkan muslim agar mengenakan topi sinterklas di tempat mereka bekerja akan terlaksana. Bentuk ‘pemaksaan’ pengenaan atribut natal sebenarnya sudah lama mendapatkan sorotan. Namun sepertinya tidak ada upaya tegas dari pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah ini.

Tidak semua perusahaan yang ‘mewajibkan’ karyawannya mengenakan atribut natal adalah milik pengusaha keturunan tionghoa. Dan juga tidak semua pengusaha etnis Tionghoa mewajibkan topi sinterklas dan perangkatnya bagi karyawan yang bekerja di perusahaan mereka.

Kalau saja kita boleh berandai-andai hotel, gedung pencakar langit, mal-mal megah itu adalah milik muslim mungkin tidak perlu setiap tahunnya Fahira Idris berteriak lantang menentang topi sinterklas untuk muslim. Namun sejauh ini peradaban gemilang muslim yang pernah ada berabad-abad lalu hanya tinggal ulasan sejarah.

Jadi rasanya ‘konflik’ seputar tiga kata ‘selamat hari natal’ akan terjadi setiap tahunnya. Selama pihak yang mempunyai otoritas untuk menengahi masalah ini hanya diam maka drama-drama ‘pertarungan ideologi’ akan terus memenuhi kehidupan kita di dunia nyata dan lebih banyak lagi di dunia maya. Akan banyak upaya-upaya ‘mentoleransi’ agama lain hingga pada akhirnya identitas agama sendiri akan hilang. Bukankah memang itu yang diinginkan oleh mereka seperti layaknya teori global theology yang menghapus sekat antar agama itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun