Mohon tunggu...
Mohamad Iqbal Konili
Mohamad Iqbal Konili Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu adalah orang yang selalu lapar akan pengalaman baru dan tak pernah ragu untuk menjelajahi hal-hal yang belum pernah dicoba sebelumnya. Passionmu dalam mengeksplorasi segala hal membuatmu begitu menarik dan penuh semangat dalam menyambut setiap peluang yang datang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Pernikahan Gagal? Analisis Faktor-Faktor Perceraian menurut Perspektif Konseling Behavioral

22 Mei 2024   19:34 Diperbarui: 22 Mei 2024   19:41 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Wenny Hulukati, Melani Patricia Kaluku, Lindiyana Tumode, Cheysia P. Mardiansyah, Fatmawati dai


Pernikahan sering dianggap sebagai puncak dari sebuah hubungan romantis, namun kenyataannya, banyak pernikahan yang tidak bertahan lama. Tingginya angka perceraian menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menyebabkan pernikahan gagal. Perceraian merupakan salah satu masalah sosial yang kompleks dan memiliki dampak negativ bagi individu, keluarga, dan masyrakat. Faktor-faktor penyebab perceraian pun beragam, mulai dari faktor internal seperti maslaah komunikasi, dan keuangan, hingga faktor ekternal seperti keluarga dan lingkungan sekitar. 

Beberapa faktor yang Mendorong Perceraian yaitu: 1. Kurangnya Komunikasi Efektif: Komunikasi yang terbuka, jujur, dan penuh empati adalah fondasi hubungan yang sehat. Pasangan yang mengalami perceraian seringkali memiliki hambatan dalam komunikasi, seperti kesulitan mengungkapkan perasaan, mendengarkan dengan seksama, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. 2. Ketidakmampuan Memecahkan Masalah: Kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara efektif sangat penting untuk mengatasi rintangan dalam hubungan. Pasangan yang bercerai seringkali memiliki kesulitan menyelesaikan masalah secara damai, yang dapat memicu frustrasi, kemarahan, dan kebencian. 3. Ketidakmampuan Mengelola Emosi: Kemampuan mengelola emosi negatif seperti kemarahan, kecemasan, dan frustrasi dengan cara yang sehat sangat penting untuk menjaga hubungan yang stabil. Pasangan yang bercerai seringkali kesulitan mengendalikan emosinya, yang dapat berujung pada perselisihan dan perilaku destruktif. 4. Kurangnya Penegakan Batasan: Menetapkan batasan yang jelas dan sehat dalam hubungan adalah kunci untuk menjaga rasa hormat dan privasi. Pasangan yang bercerai seringkali memiliki batasan yang kabur, yang dapat menyebabkan pelanggaran privasi, kontrol, dan pertengkaran.

Dari sudut pandang konseling behavioral, kegagalan pernikahan bisa dianalisis melalui berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika hubungan antara pasangan. Pendekatan ini berfokus pada perilaku dan interaksi pasangan dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi yang buruk adalah salah satu penyebab utama perceraian menurut perspektif konseling behavioral. Konseling behavioral merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor perceraian. Pendekatan ini berfokus pada perilaku individu dan bagaiamana individu tersebut di pelajari dan diperkuat. Konseling behavioral menekankan pentingnya komunikasi dan interaksi yang efektiv dalam hubungan interpersonal.

Ketika pasangan tidak mampu berkomunikasi dengan jelas dan efektif, mereka sering mengalami kesalahpahaman yang bisa memicu konflik. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan dan kebutuhan secara jujur dan terbuka dapat menciptakan jarak emosional. Seiring waktu, ketegangan yang tidak terselesaikan ini dapat merusak fondasi hubungan dan mengarah pada perceraian. 

Faktor lain yang signifikan adalah perilaku negatif seperti kritik terus-menerus, penghinaan, dan sikap defensif. Kritik yang konstan dapat membuat pasangan merasa tidak dihargai dan selalu diserang. Penghinaan, yang sering kali berupa ejekan atau komentar merendahkan, dapat merusak harga diri pasangan. Sikap defensif biasanya muncul sebagai respons terhadap kritik atau penghinaan, dan memperparah konflik yang ada. Pola interaksi negatif ini dapat menciptakan siklus beracun yang sulit dipecahkan tanpa bantuan profesional. Ketidakpuasan emosional juga merupakan penyebab umum perceraian. Ketika salah satu atau kedua pasangan merasa kebutuhan emosional mereka tidak terpenuhi, mereka mungkin merasa terisolasi dan tidak terhubung secara emosional. Konseling behavioral menekankan pentingnya perilaku mendukung, seperti memberikan dukungan emosional dan menunjukkan apresiasi. Ketika pasangan merasa dihargai dan dicintai, mereka lebih mungkin untuk menghadapi tantangan bersama dengan cara yang konstruktif dan penuh pengertian. 

Tekanan eksternal seperti masalah keuangan, pekerjaan, dan tekanan dari keluarga besar juga berperan dalam kegagalan pernikahan. Stres dari faktor-faktor eksternal ini dapat memperburuk masalah yang sudah ada dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk hubungan yang sehat. Konseling behavioral membantu pasangan mengembangkan strategi untuk menghadapi stres ini dengan cara yang positif dan saling mendukung, yang dapat membantu mencegah keruntuhan hubungan. Perbedaan dalam harapan dan tujuan hidup juga dapat memicu perceraian. Ketika pasangan memiliki visi yang berbeda tentang masa depan mereka, konflik sering kali tak terhindarkan. 

Konseling behavioral mengajarkan pasangan untuk berkomunikasi secara terbuka tentang harapan dan tujuan mereka, serta mencari cara untuk mencapai kompromi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ini penting untuk memastikan bahwa kedua pasangan merasa didengar dan dihargai dalam hubungan. Masalah dalam keintiman fisik dan emosional juga sering menjadi sumber konflik. Ketidaksesuaian dalam hasrat seksual, kebutuhan afeksi, dan ekspresi cinta dapat menyebabkan ketidakpuasan yang mendalam. Konseling behavioral mendorong pasangan untuk membicarakan masalah keintiman mereka dengan jujur dan terbuka, serta bekerja sama untuk menemukan solusi yang memuaskan kedua pihak. Terapi ini juga membantu pasangan untuk lebih memahami dan menghargai kebutuhan satu sama lain dalam aspek ini. Kurangnya keterampilan dalam menyelesaikan konflik adalah faktor lain yang sering menyebabkan perceraian. Banyak pasangan tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat dan konstruktif. 

Konseling behavioral memberikan pasangan alat dan teknik untuk mengelola konflik dengan lebih efektif, termasuk keterampilan dalam negosiasi, kompromi, dan pemecahan masalah. Dengan kemampuan ini, pasangan dapat mengatasi perbedaan mereka tanpa harus berakhir pada perceraian. Secara keseluruhan, perspektif konseling behavioral memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana perilaku dan interaksi sehari-hari pasangan dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pernikahan. Dengan memahami dan mengatasi faktor-faktor ini, pasangan dapat bekerja sama untuk memperbaiki hubungan mereka dan menghindari perceraian. Terapi behavioral menawarkan alat dan teknik yang membantu pasangan berkomunikasi lebih efektif, mengatasi perilaku negatif, dan memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain, yang pada akhirnya dapat memperkuat ikatan pernikahan mereka. 

Secara keseluruhan, perspektif konseling behavioral memberikan wawasan penting tentang bagaimana perilaku dan interaksi pasangan dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pernikahan. Dengan memahami dan mengatasi faktor-faktor ini, pasangan dapat bekerja sama untuk memperbaiki hubungan mereka dan menghindari perceraian. Terapi behavioral menawarkan alat dan teknik untuk membantu pasangan berkomunikasi lebih efektif, mengatasi perilaku negatif, dan memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain, yang pada akhirnya dapat memperkuat ikatan pernikahan mereka

 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z., & Widiastuti, I. (2019). Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Suami Istri di Kota Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 16(2), 45- 55. 2. 

Budiman, R. (2018). Dinamika Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Muda di Jakarta. Jurnal Konseling, 4(1), 67-78. 3. 

Fajri, S., & Mulyadi, M. (2020). Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Keberlangsungan Pernikahan. Jurnal Psikologi dan Pendidikan, 15(1), 23-36. 4. 

Handayani, S. (2017). Peran Konseling Behavioral dalam Menurunkan Angka Perceraian di Indonesia. Jurnal Psikoterapi, 10(3), 123-137. 5.

Maulana, A. (2019). Konflik dalam Pernikahan: Analisis dan Strategi Penyelesaian. Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(2), 88-102.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun