Beberapa hari terakhir saya sering mendengar berita-berita tentang sepak terjang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama, atau yang lebih dikenal Ahok. Salah satu kebijakannya yang cukup kontroversial melalui Ingub (Instruksi Gubernur) adalah pelarangan penjualan hewan kurban di area fasilitas umum. Saking kontroversialnya kebijakan ini hingga debat kusir pun tidak terhindarkan semenjak saya berangkat dari rumah dan bahkan sampai di kantor tempat saya bekerja. Sebuah situasi yang cukup dinamis untuk salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia ini.
Ada begitu banyak penyataan teman-teman dan saudara-saudara saya yang muslim perihal kebijakan sang gubernur ini. Beberapa yang mendukung dengan dalih demi kebersihan dan ketertiban lingkungan. Ada juga yang sangat menentang kebijakan ini karena dianggap merusak tatananan budaya dan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang kita. Beberapa kejadian yang turut menarik perhatian media dan masyarakat adalah bentrok antara warga pedagang hewan kurban kecamatan Tanah Abang dengan Petugas Satpol PP DKI Jakarta saat sedang bertugas melakukan penertiban pedagang hewan kurban di kawasan Jl KH Mas Mansyur. Seperti kita ketahui di pemberitaan media bahwa menurut Camat Wilayah Tanah Abang, Hidayatullah, penertiban ini sesuai dengan instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 67 Tahun 2014 tentang larangan menjual hewan di atas trotoar dan Perda No 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum.
Saya juga jadi teringat dengan pernyataan Lucky P Sastrawirya, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Demokrat, di salah satu media lokal yang menyesalkan adanya instruksi pelarangan pemotongan hewan kurban di Masjid dan Sekolah. Hal ini menurutnnya karena pemotongan hewan kurban di lingkungan sekolah dimaksudkan untuk memberikan pelajaran dini kepada murid tentang kepekaan sosial, mendidik siswa agar bisa berbagi dengan sesama dan kepada warga miskin sekitar. Tetapi ada satu catatan penting buat saya terkait pernyataan beliau ini yaitu Lucky P Sastrawirya selaku Anggota DPRD DKI Jakarta mendukung pelarangan penjualan hewan di lokasi-lokasi sarana umum. Hal ini disampaikan beliau ketika menyikapi Instruksi Gubernur Nomor 67 tahun 2014 pada waktu ketika Ahok masih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2014 silam.
Kembali lagi ke bentrok antara pedagang hewan kurban dan satpol PP di Tanah abang, pernyataan salah satu pedagang pada saat liputan langsung oleh salah satu TV Nasional bahwa mereka melakukan hal ini bukan tanpa alasan tetapi lebih daripada itu ini adalah warisan dari nenek moyang pendahulu mereka sejak belasan bahkan puluhan tahun yang lalu sehingga tidak bisa diintervensi. Apalagi hali ini berkaitan erat dengan ritual keagamaan Islam sejak zaman dahulu.
Ada beberapa poin penting yang saya tangkap dari tiga isu media yang berbeda di atas yaitu tradisi, kepentingan umum dan pendidikan dan pola komunikasi pemimpin.Â
Kita tentu mengetahui bahwa setiap tradisi memiliki tingkat kemampuan pola penyesuaian yang berbeda. Apalagi menilik pada definisi tradisi itu sendiri menurut KBBI yaitu pertama "adat kebiasaan turun-temurun (dr nenek moyang) yg masih dijalankan dl masyarakat."Â kedua "penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yg telah ada merupakan yg paling baik dan benar." Dari dua definisi tradisi di atas saya lantas berpikir bahwa jika tradisi merupakan kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang (yang notabene adalah sebagai manusia) lantas apakah kita sebagai generasi baru (yang juga sebagai manusia) tidak dapat mengubahnya? Apalagi jika menghubah ini dalam konteks sebagai cara-cara yang paling baik untuk kondisi saat ini merujuk pada definisi kedua menurut KBBI. Jadi, seyogyanya menurut pandangan saya bahwa sebenarnya tradisi-tradisi demikian dapat diubah asalkan dengan cara-cara yang elegan tanpa mengurangi nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan dalam tradisi-tradisi tersebut. Penyiapan lokasi atau lahan untuk para pedagang hewan kurban seperti yang sudah disampaikan oleh camat Tanah Abang, Hidayatullah, merupakan salah satu solusi yang cukup bagus dan akan sangat bagus jika didukung oleh pemerintah melalui kemudahan akses pasar oleh pembeli hewan kurban. Jadi, jika kebijakan untuk mencoba mengubah tradisi ini dapat dilakukan dengan syarat-syarat di atas maka saya pikir kebersihan dan ketertiban kota dapat terjamin, disamping itu bahwa tradisi yang sarat dengan nilai luhur yang diajarkan dan diturunkan oleh nenek moyang pun tidak hilang begitu saja. Tentunya bahwa kepentingan umum akan terakomodir dalam penyelesaian kasus ini.
Berikut bahwa pola komunikasi yang dibangun oleh pemerintah hendaknya memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan tata penyelenggaraan pemerintah. Bahwa penyelenggara negara yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif tentu mempunyai peran masing-masing dalam menyikapi dan kondisi riil di masyarakat. Pernyataan anggota DPRD DKI Jakarta, Lucky P Sastrawirya, di atas sedikit banyak telah menunjukan bahwa komunikasi yang baik seharusnya dapat dibangun oleh Ahok dan DPRD DKI Jakarta untuk urusan ini. Karena apa pun terjadi DPRD adalah reperesaentasi keterwakilan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika tidak bisa diakomodir dan terintervensi dalam Pergub atau Ingub, maka setidaknya komunikasi lintas lembaga secara informal dapat dilakukan. Hal ini untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa sebenarnya pemerintah sudah satu hati dengan wakilnya dalam membuat kebijakan-kebijakan selama ini. Ahok dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta sudah sangat berani melakukan terobosan-terobosan yang dapat mengubah wajah Jakarta menjadi lebih baik sebagai sebuah Ibu Kota, walaupun harus kita maklumi bahwa beliau juga sebagi manusia tentunya memiliki kelemahan.
Apapun yang terjadi, pendidikan merupakan satu hal yang wajib didapat oleh anak-anak baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Tidak salah memang jika tradisi memotong hewan kurban dapat menjadi pelajaran dan menanamkan nilai-nilai sosial bagi anak-anak. Sekolah, selain sebagai tempat belajar anak-anak dapat juga menjadi tempat berbagi pengalaman-pengalaman yang edukatif dalam kebiasaan sehari-hari. Begitu pun halnya Masjid dan tempat ibadah lainya, selain sebagai tempat ibadah juga dapat menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk memetik pelajaran-pelajaran berharga dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan tempat-tempat yang lainnya? apakah bisa menjadi tempat belajar bagi anak-anak terutama dalam hal menanamkan nilai-nilai sosial? Jika pertanyaanya demikian, maka saya pikir daerah kumuh, tempat pengungsian, lampu merah dan trotoar yang menjadi tempatnya para pengemis jalanan, hingga rumah potong hewan pun dapat menjadi tempat belajar bagi anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai sosial yang diajarkan di sekolah dan agama. Lalu apa masalahnya? Sekolah dan Masjid seharusnya menjadi tempat sesuai peruntukannya yaitu tempat anak-anak bersekolah dan beribadah. Lalu bagaimana dengan pemotongan hewan kurban yang menjadi ajaran agama dan tradisi dari agama itu sendiri. Seharusnya Rumah Potong Hewan menjadi tempat yang pantas dan ideal. Persoalannya adalah keterbatasan Rumah Potong Hewan, maka disinilah letak peranan penting pemerintah. Sebelum mengeluarkan kebijakan dan sosialiasi sebaiknya pemerintah pun harus mampu menyediakan fasilitas rumah potong hewan yang layak dan mampu memenuhi kuota hewan kurban yang dipotong. Jika hal ini tidak dilakukan, maka kontroversi itu akan tetap ada. Di sisi lain, pola komunikasi pun harus mampu dibangun oleh Ahok dengan pemuka-pemuka agama soal bagaimana pandangan agama Islam tentang pemotongan hewan kurban di Masjid dan hukum-hukum Islam yang berlaku.
Jika hal ini dapat dilakukan dan didukung penuh oleh masyarakat maka saya pikir Ahok tidak hanya terus terapung dalam kontroversi "Melawan Tradisi" melainkan sebagai pemimpin yang dikenang karena mampu "Mengubah Tradisi" ke arah yang lebih baik tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur yang diwarsikan dari tradisi itu sendiri. Perlu diingat bahwa sudah banyak terbosan yang dilakukan Ahok untuk perkembangan Ibukota tercinta ini ke arah yang lebih baik. Beberapa di antaranya adalah Transparansi Anggran melalui e-budgeting, revitalisasi dan normalisasi sistem drainase wilayah DKI Jakarta dan Kampanye Kebersihan Sungai hingga Kemudahan akses birokrasi yang selama ini kita kenal sangat berbelit-belit. Ini adalah beberapa hasil yang baik dalam aksi "Mengubah Tradisi". Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H