Wajahnya yang lonjong dengan rambut kuning kecoklatan membuat tampilannya lebih mirip orang Eropa. Kontras dengan kami yang masih keturunan Arab dengan rambut hitam yang kelam kecuali para prajurit senior yang sudah menunjukkan kemuliaan dengan ubannya. Ia mengenakan seragam perwira yang mirip dengan kami. Hanya kami menggunakan sorban putih di kepala kami sedangkan pasukan Turki menggunakan topi yang seperti sorban yang berlipat.
Ia dengan tenang menyemangati pasukannya di hari yang terang benderang tersebut. Aku diberitahu oleh Mulazim bahwa mereka mempunyai penampilan yang sama seperti dirinya. Hidung panjang, muka lonjong , dan rambut mereka ada yang kuning, merah dan hitam.
Kalau masalah rambut pasti mereka akan mengenakan tutup kepala yang melindungi mereka dari panas. Tentu saja topi tersebut tidak akan melindungi mereka dari peluru yang tajam. Kalau mereka terkena peluru maka peluru akan menerobos kepala mereka dengan tanpa ampun.
Tanganku meremas-remas perlahan bedil Mausser sementara Mulazim Ilham mengenggam revolvernya. Tali tersebut dikalungkan di leher bajunya.
Sesekali ia melihat jam sakunya yang terus berputar. Aku menyeka kepalaku dan membuka topi. Ilham langsung mengingatkan diriku dan aku mengenakan penutup kepala tersebut.
Aku sudah siap namun aku harus melihat orang tersebut sebelum kami menembaknya. Kalau belum meilihat maka sama saja mengeluarkan peluru dengan percuma. Aku melihat Hanzhalah yang siap membidik. Ada Ibnu Makmun yang tidak melepaskan pandanganya ke depan. Kami mengangkat senjata lebih tinggi mengarahkan senapan ke arah musuh.
Bunyi peluit dari seberang. Suaranya tidak mengenakkan dan seperti peluit pemanggil anjing pikirku. Aku tahu bahwa Mulazim telah mengingatkan serangan mereka diawali dengan bunyi peluit. Bunyi peluit berulang-ulang. Mereka berteriak keluar dari lubang. Aku tidak peduli bentuk apapun dari wajah mereka yang penting aku menembak terus ke depan mereka berseragam coklat sama seperti kami namun mereka mengenakan celana pendek yang topinya bundar dengan menutupi bagian atas wajah mereka. Banyak dari mereka yang berguguran jatuh karena tembaka kami. Dari senapan mesin yang dipegang oleh Muslim menyemburkan ratusan butir peluru tanpa berhenti yang membuat ratusan musuh mereka mundur.
Aku pikir  bunyi peluit kedua yang menandakan adanya penarikan mundur pasukan musuh. Mulazim senang sekali dan ia meneriakkan takbir  aku langsung tersungkur untuk bersujud.
Aku melihat prajurit Australia yang terlentang di medan perang. Aha, itu rupanya Australia tanpa topi. Mereka juga seperti prajurit lainnya . Hanya saja tubuh mereka lebih tinggi dan berkulit putih tidak seperti kami.
Namun seorang temanku diam saja dengan wajah yang mencium mulut parit. Aku mendorong namun tidak ada respon darinya. Aku membalikkan tubuhnya dan melihat ada satu lubang di kepalanya. Aku tidak menjerit dan aku paham bahwa perang ini akan membuat orang mati. Tetapi bagi anak-anak muda yang baru menginjak 18 itu merupakan pemandangan yang mengerikan dan ada yang menangis melihat orang tersebut mati. Aku beserta seorang yang di sampingnya langsung menandu orang tersebut. Namanya Sukur Zakariaoglu atau kalau bahasa Melayunya adalah Sukur anaknya Zakaria. Aku menantinya ke arah belakang.
Truk Pengangkut