Mohon tunggu...
SITUMORANG YOSUA
SITUMORANG YOSUA Mohon Tunggu... Akuntan - To celebrate life, to do something good for others

Writing is living in eternity. Your body dead, your mind isn't.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tulang Punggung Republik Itu Bernama Pajak

30 Juni 2024   19:53 Diperbarui: 30 Juni 2024   19:54 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://adv.kompas.id/baca/beragam-program-kemendikbud-sepanjang-2020-untuk-majukan-pendidikan-indonesia/Input sumber gambar

Siapa mau bayar pajak?

Saya yakin kalau pertanyaan ini dilemparkan ke dalam sebuah ruangan berisi 10 orang, hanya dua orang yang mengangkat tangan. Yang satu karena salah dengar, yang didengar "siapa mau beli rujak", yang satu lagi karena mau permisi ke toilet.

Ya, itulah realitanya. Tidak ada orang yang mau bayar pajak. Bahkan orang-orang hebat di dunia ini pun punya kecenderungan untuk melakukan tax avoidance (menghindari pajak). Orang-orang hebat dunia seperti Jeff Bezos si pendiri Amazon dan Elon Musk si pendiri Tesla juga enggan membayar pajak. Para penggemar sepakbola tentu tidak asing dengan Carlo Ancelotti, pelatih Real Madrid yang membawa El Real menjadi kampium Liga Champions untuk ke-15 (lima belas) kalinya, juga tersandung kasus pajak di negeri Matador tersebut. Kasusnya bahkan sudah masuk ke tingkat pengadilan, dan ia dituntut hukuman kurungan 5 (lima) tahun penjara atas tuduhan penggelapan pajak.  

Eniwei, premis bahwa setiap Warga Negara Indonesia harus bayar pajak merupakan premis yang tidak populis. Dan itu tidak dapat dibantahkan dengan banyaknya warga negara, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia, dan tidak hanya orang biasa, tapi juga orang-orang super kaya yang 'emoh' bayar pajak. Mereka alergi dengan pajak. Meskipun, perlu digarisbawahi juga bahwa pajak yang dikenakan di negara-negara seperti kebanyakan negara Eropa dan Amerika Serikat memang fantastis. Nominalnya bisa setengah dari pendapatan yang diterima. Punya penghasilan 100.000 (seratus ribu) pounds setiap pekannya, seperti beberapa bintang sepak bola Premier League, kalau pajak nya 50.000 (lima puluh ribu) pounds, siapa yang ikhlas? Malaikat juga belum tentu ikhlas.

'Jurang' pajak antara otoritas dan wajib pajak tidak berhenti sampai disana. Di Indonesia, hal ini diperparah dengan akuntabilitas dan keterbukaan dalam hal pengelolaan perpajakan yang masih menjadi sorotan dan tanda tanya besar. Tidak sedikit pemungut cukai, kalau kita meminjam bahasa Alkitab untuk para pemungut pajak, yang tertangkap dan divonis bersalah karena mempermainkan pajak untuk memperkaya diri. Nilainya juga fantastis. Kalau hanya untuk beli kaos bertuliskan 'Supreme' seharga Rp 3,5 juta (Tiga setengah juta rupiah) sebanyak satu biji untuk di posting di Instagram, mungkin bisa kita maklumi. Tapi GT dan RAT tidak sungkan-sungkan untuk 'menyunat' pendapatan negara ini dengan jumlah yang kalau disebut malah bikin sakit hati WP (Wajib Pajak) taat pajak kelas menengah bawah (sekali) seperti saya. 

Ironisnya, negara kita bukan negara tax heaven seperti British Virgin Island atau Monako. Untuk negara yang disebut terakhir, meskipun memiliki warna bendera yang identik, Merah Putih, namun terkait pajak menerapkan pendekatan yang sama sekali berbeda. Di Indonesia, pajak masih menjadi sumber pemasukan utama bagi negara. Jumlahnya bisa lebih dari setengah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) setiap tahunnya. Artinya, pajak memegang peranan penting dan krusial di Indonesia. Maka sangat disayangkan kalau pengelolaannya tidak dilakukan secara optimal.

Pajak, sebagai tulang punggung APBN, memainkan peranan vital guna mendukung Indonesia mewujudkan visi Generasi Emas 2045, yang sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 9 Mei 2019. Pada tahun 2045, tepat seratus tahun atau satu abad sejak Indonesia merdeka, Indonesia yang 'dihadiahi' bonus demografi, dimana mayoritas penduduknya adalah kaum produktif, diharapkan mampu menjadi salah satu dari lima besar ekonomi dunia.

Tapi, kuantitas tanpa kualitas sama dengan omong kosong. Maka dari itu, SDM Indonesia juga perlu untuk diperhatikan dan ditingkatkan kualitasnya, secara khusus dari segi pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan menjadi dua modal utama Indonesia untuk bisa bersaing di level dunia. Pendidikan penting untuk menghasilkan individu yang memiliki kompetensi tinggi dan mampu berpikir cerdas nan kritis. Kesehatan juga tidak kalah pentingnya, karena kalau tidak sehat, tubuh tidak akan mampu 'menerjemahkan' semua ide dan gagasan besar dari individu yang telah terdidik dengan baik. Untungnya, hal itu telah dijaga oleh Undang-Undang yang mengamanatkan pengalokasian APBN untuk pendidikan dan kesehatan, yang dikenal sebagai mandatory spending.

Mandatory spending, atau pengeluaran wajib APBN telah diatur melalui UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 Ayat 1 untuk pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen), dan untuk anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota diberikan alokasi paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji (UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Ini tentu bukan jumlah yang sedikit, dan diharapkan dengan adanya mandatory spending ini, pendidikan dan kesehatan tidak bisa dinafikan oleh para pembuat anggaran, sehingga diharapkan APBN lebih tepat sasaran dalam hal pembangunan kualitas manusia di Indonesia.

Fakta bahwa sumber daya manusia lebih berharga dibandingkan sumber daya alam sudah tersaji di depan mata. Banyak negara yang miskin sumber daya alam, bahkan rentan bencana, mampu tampil sebagai pemain utama di panggung dunia.

Jepang misalnya. 'Si saudara tua' ini sudah sejak lama menjadi kiblat berbagai industri di dunia, mulai dari mesin, elektronik, otomotif, farmasi dan lain sebagainya. Meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah dan hidup di daerah rawan bencana seperti angin topan, gempa bumi dan tsunami, tapi dengan kualitas sumber daya manusia yang unggul Jepang tidak dapat dipandang sebelah mata. Sudah dapat dibayangkan bukan, bagaimana 'gacornya' kalau negara 'kolam susu' ini dikelola oleh manusia-manusia unggul?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun