Hidup itu hakekatnya adalah berbagi. Tidak hanya uang, tapi juga nasehat dan cerita. Dan kehidupan kita masing-masing adalah sebuah film, banyak cerita didalamnya yang bisa kita bagikan, utamanya untuk kebaikan orang lain. Dan saya selalu percaya, bahwa semua hal dalam hidup kita terjadi karena seizin Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak ada yang kebetulan. Ada yang Dia izinkan terjadi, ada yang tidak. Dan cerita kali ini adalah sebuah peristiwa yang tidak Dia izinkan terjadi, tidak menjadi celaka bagi saya, tapi bisa menjadi cerita yang memberkati orang lain.
Pada saat itu, mungkin sekitar tahun 2018 atau 2019, saya dan pacar saya, yang sekarang menjadi istri saya, melakukan perjalanan dari Surabaya menuju Tulungagung menggunakan bis. Kami berangkat sudah malam, mungkin sekitar jam 8 malam,sehingga sampai di Tulungagung sudah hampir tengah malam, mungkin sudah jam setengah 12 malam. Dan seperti biasanya, kami tidak pernah turun di terminal, karena rute bis melewati rumah keluarga istri saya. Kami turun di pinggir jalan, dekat salah satu hotel terbesar di Tulungagung. Dari situ, kami harus jalan sekitar 500 meter atau sekitar 10 menit.
Biasanya kami dijemput oleh ayah mertua saya. Tapi kali itu, karena sudah malam, saya bilang ke istri saya supaya kita jalan saja, tidak enak mengganggu ayah mertua saya yang pasti sedang mempersiapkan khotbah untuk hari Minggu pagi. Dan saat itu malam minggu, jadi saya pikir pasti jalanan tidak terlalu sepi, akan ada beberapa pengendara motor atau pengemudi mobil yang membarengi jalan kami malam itu. Termasuk lampu jalanan dan terang bulan.
Tapi yang terjadi tidak demikian. Ketika kami berjalan berdua pada saat itu, jalanan begitu sepi. Tidak ada satupun orang yang lewat, baik yang naik motor atau naik mobil. Tidak satupun. Suasana yang tidak enak seperti itu pasti akan membangkitkan naluri kita untuk berjaga-jaga dari bahaya. Termasuk saya. Saya mulai melihat kanan-kiri jalan, untuk melihat apakah ada orang disekitar kami atau ada yang berpotensi melakukan sesuatu yang jahat pada kami. Saya berusaha untuk tetap tenang, meski sebenarnya saya sangat gelisah.
Ketika kami jalan menuju rumah istri saya, jalan yang kami lalui itu bukan merupakan jalan utama. Jalan tersebut tidak terlalu lebar, cukup untuk mobil bisa berpapasan tapi tidak bisa terlalu cepat. Biasanya jalan itu cukup ramai dilalui kendaraan, ada saja yang lewat. Tapi malam itu tidak. Dalam hati saya berharap ada yang lewat, yang penting manusia, mau jualan bakso, mau sekedar sepeda ontel, terserah. Suasana yang begitu sepi semakin membuat saya gelisah.
Nah, setelah kami menyebrang, dari tempat turun bis menuju jalan tersebut, kami melewati sebuah kedai atau angkringan dan saya melihat ada yang duduk-duduk di tempat tersebut. Seingat saya tidak begitu ramai. Anak-anak muda, mungkin umur awal 20-an, merokok, ngopi, ngobrol. Kami berjalan di sisi kiri jalan, searah dengan kendaraan, mereka di seberang. Pada saat itu, hanya angkringan itu yang masih buka di sepanjang jalan tersebut. Saat itu, jalan tersebut belum terlalu ramai, belum banyak tempat usaha seperti sekarang ini. Lampu jalan juga tidak banyak membantu. Hanya bulan bersinar cukup terang.
Saya tidak terlalu menaruh curiga. Kami berdua terus berjalan, berusaha secepat mungkin sampai di rumah. Malam itu, jalan yang hanya lurus saja tersebut terasa begitu jauh. Saya terus mengawasi sekeliling saya, istri saya berjalan di depan saya. Kami sudah setengah jalan, sudah melewati sebuah perempatan jalan yang cukup besar, ketika saya mendengar suara motor dihidupkan. Tebakan saya, itu motor dari anak-anak muda di angkringan tadi. S*tr*a FU lama, knalpot brong, warna hitam, tanpa plat, kalau saya tidak salah. Suara knalpot yang keras di malam yang hening, terdengar seperti auman binatang buas yang hendak menerkam mangsa.
Entah kenapa, saya begitu yakin mereka akan melakukan sesuatu yang tidak baik pada kami. Tebakan saya, mungkin mereka berusaha membegal kami berdua. Saya berusaha tetap tenang dan tidak menaruh curiga berlebihan pada mereka. Hanya beberapa kali saya mencoba menoleh ke belakang, untuk melihat siapa yang datang menghampiri kami dan berpotensi mencelakakan kami berdua.
Di kepala saya, saya mulai melakukan simulasi apa yang harus saya lakukan. Â Saya lihat mereka berdua berboncengan. Karena penerangan yang kurang, saya tidak tahu persis apa yang mereka bawa. Waktu itu saya membawa dua tas, satu di punggung, dan satu lagi adalah tas olahraga, yang saya selempangkan di sisi kiri saya. Istri saya juga membawa dua tas. Satu tas punggung, satu lagi tas kecil yang biasa dipakai oleh perempuan.
Hal pertama yang saya lakukan adalah memindahkan tas olahraga saya ke sisi kanan tubuh saya. Saya pikir, kalau mereka menggunakan sajam, tas ini bisa menjadi alat bantu yang menguntungkan saya. Saya juga meminta istri saya untuk berjalan di sebelah kiri saya, sehingga kami tidak berjalan berurutan, tetapi beriringan, mengantisipasi kalau yang mereka incar adalah tas milik istri saya.
Kenapa tidak lari?Â
Karena pada saat itu, saya dan istri saya tidak tahu pasti apakah mereka begal atau tidak. Kalau kami lari terburu-buru dalam kondisi lelah sehabis perjalanan, bisa jadi kami terjatuh dan malah membuat situasi semakin buruk. Lagipula, pikir saya, kalau berlari, saya tidak akan bisa mengantisipasi mereka dengan baik. Saya berhitung. Mereka berdua, kami sudah hampir sampai rumah. Prioritas saya adalah istri saya selamat terlebih dahulu. Sehingga dengan bantuan tas yang saya miliki, saya rasa saya akan punya cukup waktu untuk membuat dia sampai rumah terlebih dahulu dan meminta bantuan. Lagipula mereka hanya berdua, dengan badan yang tidak besar-besar amat. Saya rasa saya punya kesempatan. Makanya menurut saya, daripada kami berlari dan jadi terengah-engah, tidak fokus, lebih baik tenang dan mempersiapkan diri sebaik mungkin, menyimpan tenaga untuk benar-benar dikeluarkan ketika kami membutuhkannya.
Secara naluri, jujur saja ada ketakukan di dalam hati saya. Meskipun saya tahu jumlah mereka hanya dua, tapi saya tidak tahu hal buruk apa yang bisa mereka lakukan pada kami. Apalagi kalau yang mereka lakukan hanya iseng misalnya, sekedar menyiramkan air keras pada kami, lalu pergi begitu saja. Hanya "sekedar" kenakalan-kenakalan yang memuaskan ego mereka saja. Terbersit pikiran untuk lari. Tapi kalau lari, mungkin istri saya tidak bisa mengimbangi kecepatan saya, sehingga dia berpotensi akan mendapatkan lebih banyak masalah.
Jujur saja, disitu saya memilih untuk mengambil tanggung jawab. Kalaupun mati, pikir saya, minimal saya tidak mati sebagai pengecut yang lari ketakutan. Atau yang lebih parah, saya selamat karena lari lebih cepat dari istri saya, tetapi istri saya yang mengalami hal lebih buruk. Itu pasti akan membuat rasa bersalah seumur hidup bagi saya. Jadi, pilihan terbaiknya adalah saya yang mengahadapi mereka berdua, dengan segala resikonya. Pikiran itu harus dibuat sepersekian detik, karena dari kejauhan raungan mesin motor mereka terdengar semakin dekat.
Sekedar intermezzo, meskipun badan saya gemuk, saya yakin ketika ada kejadian buruk, saya bisa berlari lebih cepat dari biasanya. Hal tersebut pernah terjadi ketika saya masih SMA. Saya dan teman saya, yang harus mengambil bola sepak yang jatuh di kebun sebelah sekolah kami saat itu, harus berurusan dengan anjing peliharaan dari pemilik kebun. Anjing itu mengejar kami berdua. Dan percayalah, saya yang memulai lari di belakang teman saya, yang lebih atletis dan badannya proporsional, kalah cepat dari saya. Kalimat pertama yang ia ucapkan setelah kami lolos dari kejaran anjing itu adalah, "Kok bisa kamu lari lebih cepat dari saya?". Saya yang waktu itu hanya fokus lari tidak sadar kalau posisi saya berdiri sudah di depan teman saya tersebut. Kalau kepepet memang semua potensi terpendam kita bisa keluar tanpa kita sadari.
Situasi saat itu sangat sempurna. Tidak ada orang lain, kami hanya berdua. Jalanan hanya lurus saja, sehingga mereka bisa melarikan diri dengan mudah. Dan mereka mulai beraksi ketika kami melewati bagian jalan yang penerangannya paling minim, di sepanjang rute kami berjalan. Itu kenapa saya cukup yakin mereka merencanakan sesuatu yang tidak baik pada kami. Kenapa mereka harus berjalan searah ke arah yang kami tuju? Apa itu suatu kebetulan? Kenapa ketika kami mulai melewati bagian jalan yang kurang penerangan? Dan kenapa langsung ngebut seperti hendak menyambar sesuatu?
Hal terakhir yang saya lakukan, dan mungkin ini yang terpenting, yaitu berserah. Dalam hati saya berkata ,"Dalam nama Tuhan Yesus, tolong kami. Tolong kami Tuhan Yesus." Kalimat ini yang terus saya ulang-ulang. Saya sengaja tidak ucapkan keras-keras, karena saya tidak mau istri saya melihat saya panik, yang membuat dia menjadi panik juga, sehingga mengacaukan semua yang sudah saya simulasikan di kepala.
Motor itu terdengar berakselerasi dari kejauhan. Dan ketika semakin dekat dengan kami, saya merasa mereka seperti sengaja menurunkan kecepatan. Tapi ajaibnya, mendadak motor yang mereka tumpangi seperti hendak mati. Mbrebet. Mesinnya tersendat. Dan saya mendengar mereka bercakap seperti menyumpahi motor itu. Motor itu tersendat-sendat melewati kami berdua. Kaki si penumpang motor bahkan setengah menapak untuk membantu laju motor.
Anehnya, di jalan yang begitu besar dan sepi, mereka melewati kami terlalu mepet menurut saya. Helooo, jalan itu begitu lebarrr. Dan mereka hanya naik motor. Ngapain terlalu dekat. Meskipun tidak terjadi apa-apa, tetapi itu hal yang tidak lazim menurut saya.
Dan, ketika mereka akhirnya lewat tanpa terjadi apa-apa, saya merasa begitu lega. Saya dan istri tidak pernah membahas kejadian itu terlalu detail setelahnya. Dan hari ini, di malam minggu juga, entah kenapa saya tertarik membahas itu dengannya, dan kami berdua sepakat memang itu karena Tuhan menjaga kami. Dia juga merasakan bahaya, dan menurut istri saya, dia pada saat itu mengatakan pada saya kalau kedua orang tersebut sepertinya begal dan kami harus berhati-hati. Tapi sejujurnya saya tidak terlalu mendengarkan perkataannya pada saat itu. Saya terlalu fokus pada pikiran saya sendiri dan bagaimana mengantisipasinya.
Tapi sekali lagi yang mau saya tekankan adalah, saya yakin itu karena Tuhan Yesus menjaga kami berdua. Dia tidak mengizinkan hal itu terjadi pada kami. Kalau tidak, mungkin hasilnya bisa berbeda bagi kami berdua. Terlalu mencolok untuk menjadi sebuah kebetulan. Itu kenapa di setiap malam menjelang tidur, saya selalu berterima kasih pada Tuhan atas perlindungannya, karena banyak sekali hal-hal buruk yang bisa terjadi pada kita, tapi mungkin Ia selalu menjaga kita dengan caranya, tanpa sepengetahuan kita. Horas!
"Seorang pun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau seumur hidupmu; seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau"
Yosua 1:5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H