Mohon tunggu...
SITUMORANG YOSUA
SITUMORANG YOSUA Mohon Tunggu... Akuntan - To celebrate life, to do something good for others

Writing is living in eternity. Your body dead, your mind isn't.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Kalau dari Cina Terus Kenapa?

22 Februari 2023   23:53 Diperbarui: 22 Februari 2023   23:55 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

IIMS 2023 baru digelar, eh muncul lagi ribut-ribut soal mobil Esemka. Perusahaan yang dulu sempat digagas Presiden Jokowi waktu masih menjabat sebagai walikota ini dipermasalahkan sebagian orang karena dianggap belum mampu diproduksi seutuhnya di dalam negeri dan masih bergantung pada Cina. Hal ini lantas dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik, bahkan dicap gagal, terutama bagi WNI berpikiran sempit yang lebih cepat mengkritik ketimbang memuji.

Saya juga tidak berniat menjilat rezim, hanya membagi pemikiran saja bahwa semua hal besar dimulai dari kecil. Tidak ada sesuatu yang ujug-ujug besar. Pasti dimulai dari hal yang sederhana, lalu pelan-pelan dirajut dan terus dikembangkan hingga menjadi sesuatu yang besar bahkan mungkin tidak terbatas. Yang jelas apapun itu, kalau tidak dimulai maka tidak akan pernah terwujud dan jadi apa-apa, mungkin itu juga salah satu kerinduan dan cita-cita founder Esemka dulu.

Untuk itu, coba kita lihat dari salah satu brand paling terkenal saat ini, Nike. Memang, Nike bukan perusahaan otomotif, tapi produsen peralatan dan perlengkapan olahraga, namun saat ini hampir semua orang dari semua kalangan tau kalau logo centang itu adalah Nike. Apakah Nike dulu sebesar sekarang? Tentu tidak. Apakah Nike dulu punya pabrik di awal berdirinya? Tidak juga. Perlu kita semua tau, dan ini bisa dibaca di autobiografi Phil Knight, sang founder Nike yang berjudul Shoe Dog. Disana cukup jelas ditulis oleh Phil bagaimana dia merintis Nike yang saat ini kita kenal dimana-mana.

Tapi supaya hal ini tidak melebar kemana-mana, kita coba cari hal-hal yang sama diantara keduanya, Esemka dan Nike.

1. Ingin membuat sesuatu yang bermakna dan berdampak

Menurut sang pendirinya, Phil Knight, setelah ia menyelesaikan studi formal pasca sarjana, ia rindu untuk membuat "sesuatu" dari Oregon, kota tempat Nike berasal. Karena ia seorang atlet kampus, khususnya cabang olahraga lari, maka yang ada dipikirannya adalah membuat sepatu lari, yang pada saat itu pasar Amerika Serikat dikuasai oleh Adidas, dari Jerman. Lantas dia berpikir, orang Amerika harus punya opsi lain selain Adidas. Dan ini merupakan sebuah kesempatan sekaligus tantangan untuk membuat sesuatu yang menarik dari Oregon, Amerika Serikat, tempat dia berasal.
Sama seperti Esemka yang berasal dari Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia. Sebagaimana kita tau, saat ini tidak ada perusahaan otomotif lokal yang menggarap pasar Indonesia. Pasar otomotif Indonesia dikuasai brand-brand asing. Sangat menyedihkan ya. Padahal industri otomotif tentu merupakan sesuatu yang strategis dan penting, karena menyangkut mobilitas orang dan barang, sesuatu yang dibutuhkan. Dan ketergantungan ini tidak bisa diteruskan, harus dimulai sesuatu yang berasal dari Indonesia sendiri. Mosok bangsa sebesar ini cuma bisa kepo, mobil aja masih dibuatin? Lebih baik terlambat lah, daripada tidak sama sekali

2. Bermitra dengan pihak lain

Ini juga sesuatu yang menarik. Faktanya, Nike yang kita kenal sekarang tidak punya pabrik diawal berdiri. Bahkan, Nike adalah distributor Onitsuka sebelum menjadi perusahaan raksasa seperti saat ini. Bahasa kerennya mungkin ATPM lah ya, Agen Tunggal Pemegang Merk. Tapi, karena Phil Knight melihat gelagat kurang baik dari Onitsuka, dimana ia sepertinya akan digantikan, maka ia memutuskan untuk membuat sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri, punya sendiri. Sesuatu yang tidak akan diambil orang lain.

Maka ia mulai mencari rekanan, pabrik-pabrik sepatu di Jepang, Cina, yang bisa memproduksi sepatu seperti yang ia inginkan. Cina dipilih, karena mereka menawarkan biaya produksi yang rendah. Soal kualitas memang belum mampu memenuhi selera Nike pada saat itu, tapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki 'kan? Jadi Nike pun pelan-pelan mengajak pabrik rekanannya untuk berbenah diri, meningkatkan kualitas hasil produksinya agar tidak hanya menjadi pemain kelas dua, tapi menjadi pemain utama.

 Suatu kali, pada produksi Nike yang pertama, Phil datang ke pabrik dan meminta pabrik untuk membuat sepatu yang konsepnya "kira-kira seperti ini". Bukan ada gambar yang disetorkan ke pabrik, lengkap dengan warna, detail-detail tertentu. Sederhananya, mereka hanya menyetorkan logo, karena desainer pertama yang direkrut Nike adalah untuk membuat logo dan iklan, bukan desain sepatu.
Tapi ini bukan berarti Phil tidak punya gambaran mengenai sepatu seperti apa yang ia mau. Karena ia seorang praktisi, atlet amatir, dan ia juga memiliki co-founder yang mengerti dunia atletik, maka ia bisa menggambarkan kepada pihak pabrik dengan baik, misalnya seperti bahan yang harus digunakan dan bentuk sepatu yang akan membantu para atlet berlari dengan baik. Dan pabrik, yang sudah sering berurusan dengan banyak klien, tidak terlalu kesulitan untuk menerjemahkan keinginan Phil, meskipun perlu beberapa waktu agar pihak pabrik mampu memenuhi standar yang diinginkan Nike.
Setelah mulai berproduksi dan berjualan, dan karena Nike ingin memiliki pabrik yang betul-betul mampu memenuhi standar mereka, barulah mereka merintis untuk membuat pabrik sendiri. Tapi itu bukan berarti mereka serta merta memutus hubungan dengan pabrik yang lama, karena pabrik baru pun butuh waktu untuk bisa berjalan dengan baik, sehingga Nike juga tetap bermitra dengan pabrik-pabrik tersebut.

Sama seperti Esemka saat ini. Esemka memilih bermitra dengan Cina, mungkin karena Cina dapat memberi biaya yang lebih murah, dengan kualitas yang baik, dan mungkin karena mau membagi pengetahuannya, seperti yang terjadi pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Hal ini bisa jadi salah satu poin yang penting, transfer teknologi. Pabrik-pabrik di Cina juga sudah terbiasa membuat komponen-komponen dan spare part yang dibutuhkan oleh berbagai industri, apapun itu. Mungkin rudal balistik antar benua sama robot Gundam yang bisa terbang aja yang belum bisa mereka buat. Gampangnya, lu tinggal bilang mau yang kayak apa, setor duitnya, jadi barangnya. Dan karena Cina sedari dulu sudah menjadi tempat banyak pabrik, memproduksi banyak barang, tentu kemampuan mereka pun sudah patut diperhitungkan. Sampai sekarang banyak juga brand-brand terkenal, seperti Apple misalnya, yang diproduksi di Cina. Jadi kalau sampai alergi sama Cina, kok aneh ya rasanya? Antum sehat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun