mancing di TV, teringat satu kisah bersama anak-anak dan keponakan. Mancing bareng di empang milik kakak, di kampung halaman. Berbekal sebilah bambu, benang, mata kail dan umpan; biarpun miskin bahan, tapi setidaknya, kaya akan niat baik, dan harapan. Dapat ikan, bawa pulang, goreng garing, santap berbarengan. Begitu, skenario rombongan, yang berangkat pagi-pagi dengan hati riang.
Saat melihat acara:::.
Agak geli, melihat gaya bebas anak-anak mengelilingi kolam. Ada yang berdiri, jongkok, duduk, dan glosoran tak karuan. Semua serius, semua tenang, semua... terdiam. Tak lama kemudian, tiba-tiba ada teriakan. Nampaknya, ada mata kail yang mengait mulut ikan.
Ada tarikan benang, yang begitu merentang tegang. Kekuatan, beradu kekuatan. Ada uluran benang, yang mengikuti irama ikan berenang.
Tarik-ulur itulah, satu momentum yang mendebarkan. Debar, bagi pemancing, sekaligus mungkin debar bagi ikan, yang berusaha melepaskan. Ikan itu, berusaha sekuat tenaga melawan, dan memutus benang. Untuk kebebasan.Â
Semakin kuat melawan, semakin derita, yang ia rasakan. Sementara, pemancing itu, sekuat tenaga melemahkan kekuatan ikan. Tarik-ulur, dengan kesabaran. Sabar, menunggu ikan, sampai kelelahan.
Ikan makin melemah, bertambah-tambah. Saat ia lawan, kekuatan yang lebih besar, saat itu pula, sakit yang kian bertambah, ia dirasakan. Kekuatan, di atas kekuatan. Sedikit-demi-sedikit, daya ikan terus terreduksi, menjadi ketidak-berdayaan.
Akhir adegan tarik-ulur itupun, mudah ditebak. Ikan semakin mendekat, pasrah, menuruti kehendak. Pasrah menuju genggaman tangan, tanpa bisa lagi... ia tolak.
:::.
Tarik-ulur, tegang-kendur benang pancing itu, bagai Keluasan, dan Kesempitan.
Ketika mata kail ditabur dengan rizqi sebagai umpan; umpan yang dilapangkan atau disempitkan sebagai ujian. Ujian, yang akan menentukan nilai akhir, satu perbuatan.Â
Ketika mata kail telah menusuk dan mengait tak terlepaskan; DIA akan bolak-balikkan hati, dengan umpan kelapangan, atau kesempitan. DIA tarik-ulur ujian dengan benang kasih sayangNYA; tarik perlahan, lalu ulur sedikit, penuh.. kelembutan.
Lembut, meredam penderitaan. Lembut, mengikis sifat-sikap kehewanan. Lembut, meredam nafsu yang menolak Kekuatan di atas kekuatan! Agar, ia.., jiwa itu... tenang. Hingga menuruti kehendak, semakin mendekat, semakin berserah diri, dan... pasrahhh. Pasrah dalam rengkuhan genggaman, dan buaian 'Tangan' Kekasih yang dirindukan.
:::.
Ahhh, tarik-ulur, dekat-jauh, memberi.. dan meminta. Adegan mancing bareng itu, menjadikan ruang fikiran lebih ter-ekstraksi.
Ternyata, ada jenis tarik-ulur yang berujung pada kasih, dan cinta. Ada jenis ulur pemberian, yang kemudian ditarik, dengan penuh pesona. Dan, sudah disiapkan.. uluran pemberian berikutnya. Bukankah, telah disiapkan Surga untuk pemberian berikutnya?
Diri ini, semakin malu rasa. Terlalu banyak menarik-pinta, tapi... terlalu sedikit ulur-bersyukur, kepada-NYA.
@kur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H