Puluhan tahun yang lalu...
Ada kandang ayam besar yang kokoh berdiri, tak jauh dari halaman rumah. Saking besarnya, katimbang dibilang kandang, ia boleh dikatakan rumah. Rumah ayam.
Dibilang rumah, karena ada atapnya, ada dinding, pintu, jendela, dan tiang-tiang penyangga di setiap sudutnya. Yang menarik, semua bagian rumah ayam itu, nyaris terbuat dari... bambu.
Hampir setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, aku mampir berdiri di sudut tiang bambu, rumah ayam itu. Di situlah, tiang bambu kujadikan celengan dan tersimpan harta karun: uang receh jatah jajanku!
:::.
Sore itu, hujan. Biasanya, simbah kakung mengajakku bermain catur, sembari menikmati wedangan.
Namun, sebelum ajakan itu datang, dari sebelah dinding dapur, terdengar samar suara khas mbah putri, berkata sendiri, dengan logat khas Purworejo-nya, "... Tanggal tuwo, urung gajian. Arep nggodhog banyu wae, minyak wis kenthek-an ..." (Tanggal tua, belum gajian. Akan merebus air saja, minyak sudah kehabisan).
Suaranya, berat tersendat, bergetar. Mungkin, menahan sesak rasa, tangis, atau.. entah, apa.
Ah, pasti mbah kakung minta wedang, goreng pisang, goreng ubi, atau kacang rebusan, bathinku.
Dari bilik kamar, aku hanya bisa tersenyum, getir.
Hatiku..., pilu.
:::.
Inilah, saatnya.
Aku menyelinap ke luar kamar menuju rumah ayam, melewati teras. Hujan yang bertambah deras, tak menyurutkan langkah dan hatiku yang sudah penuh rasa welas. Bersama hujan, celengan bambu pun kubongkar, ku-palu keras!