Perjalanan kali ini membawa saya ke ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, di suatu daerah yang bernama Larantuka. Saya menuju Larantuka dengan transit di Bandara Kupang El Tari sebelum akhirnya mendarat di Bandara Gewayantana karena belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Larantuka. Â
Larantuka yang juga merupakan ibukota kabupaten Flores Timur ini terkenal akan tradisi katoliknya yang kental, sampai-sampai sering disebut sebagai Vatikan-nya Indonesia. Selain itu, Kota Larantuka juga sering dikenal sebagai Kota Reinha/Kota Maria, karena kecintaan masyarakat Larantuka terhadap Bunda Maria, Ibu Tuhan Yesus.Â
 Inilah tempat Kerajaan Katolik pertama dan terbesar di nusantara, tidak lain tidak bukan adalah Kerajaan Katolik Larantuka. Agama Katolik yang tumbuh subur di Larantuka ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Portugis di Larantuka yang menyebarkan agama Katolik, lebih dari 95% warga Larantuka menganut Katolik.Â
Kedatangan saya ke Larantuka bersamaan dengan momen Semana Santa yang berarti Pekan Suci, momen dimana umat Katolik di seluruh belahan dunia bersiap memasuki pekan paskah.  Terkhusus di Larantuka, Semana Santa ini sendiri sudah 3 tahun lamanya tidak diselenggarakan disana karena pandemi COVID-19, sehingga tidak mengherankan ribuan umat Katolik seluruh Indonesia datang berbondong bondong kesana.  Tradisi Semana Santa ini sudah dijalankan lebih dari 5 abad atau 500 tahun yang lalu, sejak jaman Portugis berkuasa di Larantuka. Tradisi ini bernuansa Katolik dan merupakan perayaan keagamaan masyarakat Flores yang paling meriah.Â
Kesan saya ketika mengunjungi Larantuka adalah suasana paskahnya yang begitu terasa dengan meriah. Rumah-rumah di dekorasi dengan patung Tuhan Yesus serta Bunda Maria, di halaman rumah juga dipasang banner yang bergambar Tuhan Yesus. Sungguh, mereka adalah teladan bagi umat kristiani untuk selalu dekat kepada Tuhan.Â
Sebelum memulai prosesi Semana Santa ini, saya menyempatkan diri juga untuk berkunjung ke objek wisata religi disana yaitu Taman Bukit Fatima. Taman Doa ini adalah tempat kita bisa berdevosi secara khusus kepada Bunda Maria, di dalam taman doa tersebut juga terdapat beberapa tempat duduk yang bisa memudahkan kita dalam berdoa. Selain itu, ketika naik ke atas kita bisa melihat keindahan Pulau Flores dan pulau -pulau di sekitarnya beserta lautnya yang begitu biru.Â
Setelah mengunjungi Taman Doa tersebut, saya melanjutkan perjalanan menuju Museum Uskup Gabriel Manek SVD, yang merupakan Uskup Pribumi kedua di Indonesia setelah Mgr Albertus Soegijapranata, SJ. Beliau dikenal sebagai Bishop of The Poor atau uskup kaum miskin karena keteladanan beliau yang tidak pernah membeda-bedakan dalam melayani umat.  Beliau menjabat sebagai Uskup Keuskupan Larantuka mulai tahun 1951-1961, kemudian sempat juga menjabat sebagai Uskup Keuskupan Ende 1961-1968.Â
Setelah 1968, Uskup Gabriel Manek pindah ke Amerika Serikat hingga akhir hidupnya tahun 1989. Tahun 2007, ketika jenazah Uskup Gabriel Manek digali ternyata tubuhnya masih utuh tanpa diawetkan, yang sulit dicerna oleh akal sehat, bahkan sebenarnya sudah disediakan peti untuk menampung tulang Bapa Uskup, akhirnya peti itu tidak digunakan karena jenazah masih utuh.Â
Museum tersebut dikelola oleh Para Suster PRR (Puteri Reinha Rosari) yang didirikan oleh Bapa Uskup tahun 1958. Ketika saya datang,tampak beberapa suster yang sedang mengobrol dengan pengunjung, dan ada juga yang sedang berdoa. Museum ini dikelola dengan baik dan menampilkan semua peninggalan Bapa Uskup, mulai dari sejarahnya, keluarganya, karya perutusannya, kacamata, hingga baju yang dipakainya. Di ruang kapel yang dilapisi kaca, disitulah Bapa Uskup bersemayam dilapisi dengan kain putih.Â