Mohon tunggu...
Andrew Ramadhan
Andrew Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Keterangan

Mahasiswa linguistik yang tertarik dengan berita internasional dan dunia jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Tensi Panas Prancis dan Komunitas Muslim Dunia

30 Oktober 2020   11:23 Diperbarui: 30 Oktober 2020   12:13 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan di lini masa media sosial belakangan ini ramai memberitakan mengenai pernyataan Presiden Turki. Reccep Tayyip Erdogan mengatakan Emmanuel Macron perlu memeriksa "kesehatan mental" dirinya. Pernyataan tersebut menanggapi pidato kepresiden Macron pada tanggal 2 oktober 2020 serta pernyataan paska pembunuhan seorang guru di Prancis, Samuel Patty pada 16 Oktober 2020.

Oleh karena pernyataan tersebut, Emmanuel Macron memutuskan untuk memanggil pulang duta besar Prancis untuk Turki pada 25 Oktober 2020. Menurut situs Kementrian Luar Negri Prancis, keputusan tersebut diambil atas dasar ketidakhadiran solidaritas dari pemerintah Turki untuk mengutuk aksi penyerangan tersebut, serta celaan oleh Kepala Negara Turki terhadap Presiden Prancis.

Hujan Kritik Terhadap Macron

Menurut Erdogan dilansir dari sumber media Turki, Anadolu Agency, perlakuan perasaan benci terhadap umat Muslim di Eropa bagai penyakit, terutama dari para pemimpin di Eropa. Pernyataan ini juga direspon berbagai elemen di negara lain, baik dari politisi maupun masyarakat umum yang mengecam, berunjuk rasa, dan memboikot produk Prancis.

Perdana Mentri Libya juga menanggapi pernyataan Emmanuel Macron yang menyatakan bahwa Islam adalah agama krisis dan berupaya untuk menangkal separatisme Islam di Prancis. Menurut Saad Hariri, menghina Nabi Muhammad sama dengan menyakiti perasaan umat Muslim di dunia.

Kecaman juga hadir dari parlemen Prancis yang merupakan oposisi Emmanuel Macron. La France Insoumise yang merupakan partai sosial demokrat dengan spektrum politik sayap kiri dan dipimpin oleh Jean-Luc Mlenchon, menyatakan bahwa upaya Macron menstigmatisasi umat Muslim adalah upaya Macron untuk menutupi ketidakmampuannya menjawab isu kesehatan (penanganan Covid-19) dan isu sosial. 

Menurut anggota dewan dari partai tersebut, Macron berbicara mengenai Islam radikal namun tidak mampu memfokuskan kepada akar permasalahan untuk mengurangi kesenjangan kelas sosial.

Solidaritas Uni Eropa dalam Mempertahankan Nilai Kebebasan

Dalam menyikapi kritik terhadap dirinya dan boikot yang dilakukan terhadap produk dari negaranya, Emmanuel Macron pada pidatonya 22 Oktober 2020 untuk mengenang Samuel Patty mengatakan, bahwa Prancis tidak akan berhenti menjunjung kebebasan dan sekularisme, tidak akan berhenti terhadap represi untuk karikatur dan gambar. 

Selain itu melalui Kementrian Luar Negri Prancis, Prancis mengecam tindakan boikot, protes yang berkembang terhadap negaranya serta penyerangan secara langsung terhadap negara dan bisnisnya yang beroperasi di seluruh dunia. Kementrian Luar Negri Prancis memastikan keberlangsungan usaha mereka di luar negri dan keselamatan diasporanya.

Baru-baru ini, pada 29 Oktober 2020, terjadi penyerangan di depan basilik Notre Dame de Nice. Emmanuel Macron mengidentifikasi bahwa kejadian penyerangan tersebut identik dengan penyerangan yang terjadi kepada Samuel Patty lalu dengan 3 orang sebagai korban. Emmanuel Macron mengatakan kelompok tersebut berasal dari radikalis Islam. Emmanuel Macron merespon akan menurunkan personil sentinel 3.000 sampai 7.000 militer untuk berjaga.

Presiden Komisi Uni Eropa, von der Leyen dalam pembukaan konferensi persnya menyatakan bahwa mengecam serangan brutal oleh kelompok yang dinyatakan olehnya sebagai kelompok fanatis dan barbaris. 

Begitu juga dengan solidaritas negara Eropa lainnya yang diucapkan oleh PM Angela Merkel (Jerman), PM Boris Johnson (Britania Raya), PM Pedro Sanchez (Spanyol), PM Giuseppe Conte (Italia), PM Sebastian Kurz (Austria), serta Presiden Donald Trump (US). Penyerangan di Nice memperpanjang catatan buruk kota Nice yang seringkali mengalami penyerangan.

Respon PBB

Dalam menyikapi kejadian penyerangan di Nice, PBB mengutuk aksi penyerangan yang terjadi di kota Nice serta di konsulat Prancis untuk Jeddah, Saudi Arabia karena tensi tinggi kritik yang dituju kepada Emmanuel Macron yang dianggap sebagai agenda anti-muslim. Namun PBB menekankan untuk mengedepankan prinsip saling menghormati dan menjaga keamanan global. 

Dewan Perwakilan Tinggi UN Alliance of Civilizations(UNAOC) mengatakan menghina agama dan kepercayaan simbol agama menyebabkan kebencian dan melahirkan ekstrimisme yang berujung kepada polarisasi masyarakat.

Hal ini mengacu pada dasar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada ayat 18 bahwa setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan berpikir, bernurani, dan beragama yang perlu dihargai dan dijaga oleh anggota negara PBB. PBB juga menyatakan bahwa kebebasan berpendapat harus disertai dengan menghargai secara penuh kepercayaan dalam beragama dari kepercayaan agama apapun.

Upaya Mempertahankan Status-Quo Macron pada Pemilu 2022?

Tahun 2022, Prancis akan melaksanakan kembali Pemilihan Presiden Prancis dimana nama Emmanuel Macron masih jadi nama favorit sebagai kandidat Presiden Prancis untuk melanjutkan periode keduanya, meskipun dihujani demonstrasi besar di Prancis hampir setiap tahunnya ketika ia mulai satu tahun menjabat.

Perdebatan mengenai isu imigran yang gagal mengintegrasikan dirinya kepada nilai Republik Prancis masih akan terus menjadi topik perdebatan. Emmanuel Macron diprediksi harus sekali lagi menghadapi rival kuatnya dari partai ekstrim sayap kanan Prancis, Marine Le Pen dari partai Rassemblement National (RN) yang merupakan branding baru dari nama partai sebelumnya, Front National (FN) yang identik dengan isu rasisme.

Pidato Macron pada awal bulan Oktober menghadapi kritikan dari dua spektrum politik. Partai sayap kiri mengecam tindakan stigmatisasi yang dilakukan oleh Macron kepada kelompok Muslim, di sisi lain partai sayap kanan mengkritik kegagalan Macron dalam mempertahankan nilai Republik serta kegagalannya dalam mengintegrasikan imigran kepada nilai-nilai Prancis.

Isu ini dapat dijadikan strategi Macron untuk mempertahankan Status-Quo sebagai pemimpin negara Prancis yang masih memiliki ambisi untuk berkuasa. Terlebih, Laicite saat ini merupakan nilai republik yang menjadi idenitas kuat Prancis yang saat ini mengalami tantangan pengaruh dari luar dengan identitas yang berbeda, pasca runtuhnya Monarki Prancis pada Revolusi 1789.

Tentu, Emmanuel Macron tidak ingin kehilangan suara di pemilu yang akan datang dengan memainkan isu sensitif yang relevan , seperti rival politiknya, Marine Le Pen untuk menjaga popularitasnya. Politik identitas bukanlah kartu yang dimainkan Macron pada pemilu tahun 2017, namun di saat Macron lambat laun mulai kehilangan popularitas akibat panjangnya dan masifnya skala demonstrasi yang terjadi di Prancis pada dua tahun terakhir sebelum Covid-19 akibat dari kebijakan liberalnya, Macron pada akhirnya dapat menggunakan politik identitas untuk mendongkrak popularitasnya yang tengah tergerus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun