Mohon tunggu...
Endro
Endro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Bukan Asean Games

27 Agustus 2018   15:23 Diperbarui: 27 Agustus 2018   16:35 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Baru lihat judulnya saja, lebih baik pindah topik, deh. Kayaknya Asian Games seperti berita biasa dan itu-itu saja. Tidak ada sesuatu yang hebat atau mengejutkan. Toh, bukan cuma negara saya yang bisa melaksanakan. Negara lain juga bisa menjadi tuan rumah, bahkan bisa jadi lebih baik. Tidak pula saya terlibat di dalamnya."

Sudah lebih seminggu sejak Asian Games ke-18 dibuka. Perasaan, baru kemarin negara ini bersiap-siap dengan segala kegiatannya. Ah, waktu memang begitu cepat berlalu. Saya masih ingat ketika pertama kali mengenal perhelatan ini. Semakin jatuh cinta sama Indonesia. Sudah dewasa negara ini. Acara bergengsi pun boleh dilaksanakan dalam namanya.

Terus mengikuti perkembangan di media sosial resminya, saya semakin tertarik dan bisa dibilang bangga dengan antusiasme berbagai pihak. Tidak terlewat, identitas yang "Indonesia banget" turut membuat saya puas. Panitia pun berusaha agar seluruh masyarakat boleh merasakan momen ini. Tidak kepalang, mereka juga berupaya untuk menyukseskan acara ini agar nama baik Indonesia bisa mendunia, mendunia karena sukses menyelenggarakan tentunya. Salah satunya adalah acara pembukaan sebagai awal tanggung jawab berat itu.

Mengingat kembali pembukaan Asian Games, sungguh merupakan suatu momen yang membuat masyarakat dunia heboh. Mempertontonkan budaya yang khas dan beragam tentu memberi gambaran betapa kayanya negeri ini. Pak Jokowi (sapaan akrab Joko Widodo-red) turut memberi kejutan di dalamnya dengan mengendarai moge alias 'motor gede'. Setelah itu, tari Ratoh Jaroe tidak bisa tidak membuat siapa pun terperangah dengan koreografinya yang begitu apik. Tidak hanya dari Aceh, lagu-lagu, tarian, dan kegiatan sehari-hari sebagai gambaran nusantara dipertunjukkan bersama gunung besar dengan beragam flora.

Namun, di tengah-tengah semuanya itu, masih ada saja yang mencibir megahnya acara pembukaan ini. Lebih mengenaskan lagi, cibiran itu datang dari si tuan rumah sendiri. Tidak sedikit juga yang menyangkutpautkannya dengan politik. Padahal, Indonesia sedang berpesta. Kalau komentarnya membangun boleh saja, malah sangat bagus. Tapi, kalau kritiknya pedas hingga membawa-bawa topik pemilihan presiden 2019, kayaknya itu sudah keterlaluan. Dengan alasan Indonesia negara bebaslah, komentar pun seenaknya disebarkan. Di saat orang-orang dari negara lain memuji Indonesia, sebagian rakyatnya seakan tidak peduli dan menganggap biasa saja. Padahal, tidak sedikit yang berpendapat dengan takjub bahwa pembukaannya sekelas punya olimpiade. Seseorang pernah menanyakan mengapa begitu antusias dengan Asian Games. Satu jawaban yang pasti adalah karena Indonesia yang melaksanakannya tahun ini. Wajar, kan? Malah yang tidak semangat dan tidak mau tahulah yang harus dipertanyakan. Ikut mendukung suksesnya acara ini tentu merupakan salah satu bentuk nasionalisme. Tercantum pada KBBI, nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan. Tentu jauh lebih keren daripada berlagak paling tahu mana pemimpin yang paling bagus untuk kebaikan Indonesia. Kebaikan Indonesia? Coba dipikir lagi. Ketika kedua pihak begitu keras membela pilihannya dengan alasan untuk kepentingan negara ini ke depannya, bisa terjadi perang dingin di negara sendiri. Apakah perceraian bisa dibilang salah satu bentuk rasa cinta pada tanah air? Apakah alasan untuk kepentingan negara itu murni atau hal itu hanya untuk membungkus kepentingan pribadi?

Saking sibuknya mengumbar kebencian, dan semakin merajanya kebencian itu, berita Asian Games dengan segala semangatnya seakan tidak pernah ada bagi segelintir orang. Boro-boro mengetahui acaranya, tidak sedikit yang bahkan masih salah ketik, salah baca, dan salah kaprah mengenai ajang empat tahunan ini, sehingga Asian Games dan Asean Games seakan merupakan hal yang serupa. 

Salah satu alasannya adalah sibuk. Memang bukan sibuk menyebar kebencian, tapi terdengar lebih positif: pekerjaan dan tugas. Rasional dan terdengar biasa seperti jawaban ketika diajak makan bersama keluarga. Tapi kalau mau dipikir-pikir lagi, apa betul sibuk atau sibuk dibuat-buat? Mengesampingkan sibuk yang dibuat-buat, memang makin banyak yang harus dikerjakan. Di samping untuk memenuhi kewajiban, paling tidak supaya kita mendapat hak. Namun, tidak cukupkah logo bertuliskan Asian Games yang sudah terpampang di mana-mana -- termasuk mungkin di jalan yang dilewati sehari-hari ke kantor atau sekolah -- menjadi pengingat acara ini? Belum lagi beberapa produk makanan dan minuman sudah memasangnya.

Memang betul Asian Games ini berpusat di Jakarta, Palembang, dan beberapa daerah di sekitarnya. Tapi kurang tepat kalau kita menganggap bukan menjadi bagian di dalamnya. Hampir dalam waktu yang bersamaan, kita telah memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-73.

Menyusuri tahun 1945, sejarah mencatat bahwa Indonesia begitu sulitnya untuk memproklamasikan kemerdekaan. Sulitnya bukan hanya karena Indonesia masih kalah teknologi saat itu. Tetapi lebih kepada bagaimana melawan ego dan rasa takut pribadi. Suasananya menegangkan. Jepang mengawasi dengan cukup ketat.

Tidak heran, Sukarno sebagai golongan tua sempat segan untuk memproklamasikan Indonesia cepat-cepat sampai mendapat persetujuan dari Jepang. Maka diasingkanlah ia yang dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya ia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Masih dalam awasan Jepang, bayangkan betapa cemasnya Sukarno dan rekan saat itu. Tapi, toh, karena kegigihan dan kepercayaan diri yang kuat, terlaksana juga.

Seperti yang diketahui, saat itu tidak ada gawai canggih seperti sekarang ini. Radio pun hanya dimiliki oleh orang-orang berada. Anehnya, berita itu dapat tersebar dan euforianya begitu terasa. Kalau mau membuat alasan, para pendahulu kita seharusnya memiliki lebih banyak alasan masuk akal untuk tidak mengetahui bahwa Indonesia sudah merdeka. Apalagi Sang Bapak Proklamator menyatakannya di Jakarta. Boleh jadi orang-orang saat itu beranggapan bahwa hanya Jakarta yang merdeka, yang lain pulang sajalah ke daerah masing-masing. Tapi, seperti yang kita ketahui, kemerdekaan itu bisa dirasakan manfaatnya hingga sekarang di seluruh pelosok negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun