Buta Politik, Buta Konstelasi Politik Gegara Tidak Mencermati Konteks dan Prosesnya
Oleh: Andre Vincent Wenas
Lagi-lagi kita mesti mengingatkan wejangan dari Bertolt Brecht (1898-1956) seorang penyair asal Jerman. Ia bilang:
"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."
Sambungnya...
"Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."
Sayangnya politik sering dipahami dalam konotasinya yang negatif. Dunia penuh tipu muslihat, perkoncoan, klik atau perkubuan yang sulit direkatkan. Istilah populernya praktek culas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dunia yang penuh kepalsuan dan sandiwara.
Padahal sejatinya politik itu mulia. Kita tinggal bersama dalam suatu tempat (polis, yang artinya kota). Dalam kehidupan bersama itu kita mesti mengatur (mendistribusikan) banyak sumber daya demi kehidupan bersama yang sejahtera dan damai.
Kesadaran bernegara dalam pemahaman klasik Aristotelian, politik adalah usaha yang ditempuh setiap warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune).
Cinta pada sesama manusia, solidaritas, adalah sesuatu yang bersifat politis. Solidaritas (cinta pada sesama) adalah jiwa dari politik itu sendiri. Maka tak heran jika sampai Paus Fransiskus mengatakan bahwa politik adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada sesama.