Serangan Membabi-buta dari Ahok: Jokowi dan Gibran Tidak Bisa Kerja?
Oleh: Andre Vincent Wenas
Celakanya orang kalap itu tidak bisa berpikir jernih lagi. Ahok menuduh Prabowo itu emosional dengan nada yang sendirinya emosional.
Tidak tahu dapat ilham dari langit yang mana, lalu bilang Jokowi dan Gibran itu tidak bisa kerja. Lalu mengharapkan pujian dari keputusannya sendiri mundur dari Komut Pertamina.
Dua kali menjadi presiden lantaran prestasinya, dan di tahun akhir masa jabatannya Jokowi mendapat approval-rate di kisaran 75% - 80%. Apresiasi dari banyak kepala negara asing, selalu mendapat tempat terhormat di panggung internasional. Jokowi bolehlah kita bilang presiden yang fenomenal.
Gibran (silahkah check sendiri) banyak membereskan pekerjaan yang terbengkalai oleh pendahulunya FX Rudi. Padahal Rudi tinggal meneruskan apa yang sudah dilakukan walikota Jokowi sebelumnya. Tak perlu kita ulangi lagi kinerja Gibran sebagai walikota.
Group penyinyir akan selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan kenyinyiran mereka. Justifikasi namanya, terserahlah, yang penting secara faktual Indonesia dan Solo maju di bawah kepemimpinan Jokowi dan Gibran.
Tentu saja kita menghargai keputusan Ahok untuk mundur dari jabatan Komut Pertamina, dan all-out mengampanyekan Ganjar-Mahfud. Itu tidak jadi soal, silahkah saja.
Tapi jadi blunder tatkala keluar kata-kata, "Emang Jokowi bisa kerja?" dan "Emang Gibran bisa kerja?". Kata tanya yang justru layak untuk kita pertanyakan lebih lanjut.
Apakah maksudnya untuk melecehkan Jokowi dan Gibran? Apakah meragukan kemampuan mereka berdua? Atau sekedar negative-campaign belaka?
Namun untuk sekedar negative-campain seyogianya juga melengkapi kritiknya dengan data atau informasi yang mendukung. Kalau tidak, itu sekedar jadi kenyinyiran yang konyol.
Kita sebetulnya ingin mendengar kritik dari Ahok yang berdasar analisis. Bukankah ia sering bicara kritis dan keras (walau untuk sementara pihak sering dirasa kasar).
Tapi sayang dalam dialognya dengan seorang oma (nenek) yang akhirnya viral itu, Ahok seperti kehilangan jatidirinya. Ia lebih banyak meracau dan akhirnya terkesan menyerang Jokowi dan Gibran secara membabi-buta.
Babi-buta? Ya, asal seruduk. Seruduk dulu, pikirnya belakangan.
Sayang sekali. Dampaknya malah bisa menghancurkan citra paslon yang ingin didukungnya.
Kita tidak soal dengan gaya emosionalnya Ahok, asal tetap jujur dan berdasarkan fakta. Sayang itu tak ada dalam dialognya dengan oma itu.
Kita juga berharap, dengan bergabungnya Ahok ke PDIP bisa mewarnai parpol tua itu. Misalnya dengan membereskan kasus Harun Masiku.
Tapi sayang, soal itu pun masih menggantung. Terabaikan. Warna Ahok malah semakin pudar. Ya, sayang sekali.
Jakarta, Sabtu 10 Februari 2024
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H