Membela Akal Sehat Lagi, dan Lagi...
Oleh: Andre Vincent Wenas
Tak cukup sekali, bahkan berkali-kali tergantung momentumnya. Untuk apa? Untuk membela akal sehat. Untuk merawatnya, agar selalu segar alias waras. Terus tanpa kenal lelah.Â
Teristimewa di tahun hiruk pikuk informasi yang dibalut hoaks dan fitnah, kita menamakannya dengan "Tahun Politik". Dimana tiga perhelatan besar bakal kita jelang: pilpres, pileg dan pilkada. Semua di tahun 2024.
Tak disangka-sangka seorang akademisi atau orang yang kerap di klaim sebagai cerdik-cendekia pun bisa terperosok ke dalam ngarai kebohongan publik. Bahkan tendensinya fitnah, sebuah tuduhan keji nir landasan kebenaran.
Tambah lagi dibikin ramai oleh para "pemandu sorak" yang penuh semangat rajin meneruskan (forward) berita-berita bohong yang bertendensi fitnah itu ke segala penjuru. Jempolnya jempolan sekali dalam menebar fitnah.
Dunia medsos kita tambah runyam, gegara dijejali sampah informasi. Beberapa bahkan beritikad buruk untuk menghasut. Berupaya menanamkan kebencian terhadap lawan yang berbeda pandangan politiknya.
Ambil contoh kasus Anton DH Nugrahanto (politisi PDIP) yang menghasut Grace Natalie dan Ade Armando. Setelah mendapat tantangan terbuka dari Grace, dia malah ngumpet, lenyap bak ditelan bumi. Lalu para pemandu soraknya pun cuci tangan, seolah merasa tak bertanggung jawab. Memang lucu sekaligus menjijikan kelakuan mereka ini.
Lalu ada lagi akademisi bernama Airlangga Pribadi (dosen di Universitas Airlangga) dan politisi bernama Yopi Oktavianto (PKB) yang menulis tentang PSI yang katanya partai berwajah otoriter, barbau orba, kira-kira begitulah.
Padahal di AD/ART maupun praktek keseharian PSI tidaklah demikian. Justru kebalikan dari dari otoritarianisme yang biasa dipraktekkan partai-partai tua. Di era digital seperti sekarang, hal ini gampang sekali dikonfirmasi, semudah penyebaran hoaks atau fitnah itu. Tanya saja pada Bambang Pacul waktu di DPR mau bahas soal RUU Perampasan Aset Koruptor, khan katanya harus seijin "ibu".
Sikap yang kita butuhkan adalah menjadi kritis, tidak gampang kena kibul. Terutama kalau itu menyangkut kepentingan kita, entah yang untuk sekedar memuaskan ego (emosional) tanpa melibatkan otak sama sekali.
Maka membuka kembali ingatan tentang mata kuliah logika untuk mendisiplinkan penalaran jadi imperatif di tengah simpang siurnya informasi. Supaya kita tidak berkali-kali terjerembab dalam sesat pikir, dan terkesan jadi pelacur intelektual belaka. Kaum sophist di era digital.
Judul serta isi artikel ini terinspirasi dari tulisan Endang Tirtana dalam bukunya "Jokowi, Manusia Arena" (2022) yang diilhami lagi dari karya Jeffrie Geovanie, "Membela Akal Sehat" (2008). Kita terbiasa untuk terus saling mencerahkan.
Bukankah demikian semestinya yang disebut cendekiawan maupun politisi sejati?
Jakarta, Selasa 12 September 2023
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H