Lagi-lagi Mafia Tanah: Kasus Lahan Stadion Duasudara Bitung Dobel Bayar?
Oleh: Andre Vincent Wenas
Ya, lagi-lagi mafia tanah! Menjengkelkan memang.
Seperti sudah disinyalir sebelumnya, bahwa praktek mafia tanah ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja.
Kali ini mencuat kasus di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Perihal pembayaran dobel di lahan Stadion Duasudara Bitung. Pemkot membeli lahannya sendiri? Bagaimana ceritanya?
Sederhananya, lahan stadion itu dulu (1986-1987) sudah dibayar oleh Pemkot Bitung kepada pemilik lahan (Keluarga Luntungan-Wulur dan Rompis-Pate). Lalu...
Lalu, entah bagaimana, 5 tahun kemudian (tahun 1992) muncul sertifikat atas nama pribadi terhadap lahan itu (artinya status kepemilikan lahan berubah ke pihak lain). Dan... kepada "pemilik baru" itu Pemkot Bitung pun melakukan pembayaran lagi!
Lho, kok dobel bayar?
Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana si "pemilik baru" itu bisa punya sertifikat atas lahan yang telah dijual kepada Pemkot Bitung? Lalu bagaimana ia bisa menagih lagi ke Pemkot Bitung, dan mengapa Pemkot Bitung pun mau membayarnya lagi? Akhirnya, bagaimana mungkin Pemkot Bitung dulu bisa membangun stadion di atas lahan yang belum jelas status kepemilikannya?
Ini pertanyaan-pertanyaan yang lumrah saja. Dan perlu dijawab tuntas.
Adapun dana yang digunakan untuk membayar kepada "pemilik baru" itu dibagi jadi 2 termin. Termin pertama dari APBD 2020 sekitar Rp 5,1 milyar sudah dibayarkan. Lalu termin kedua juga sekitar Rp 5,1 milyar akan dilanjutkan lagi dengan APBD 2021! Namun tertunda lantaran keburu ribut di ruang publik.