Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bencana Alam atau Bencana Akal Sehat?

17 Januari 2021   09:23 Diperbarui: 17 Januari 2021   09:40 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: diolah dari jurnalbandung.com

Bencana Alam atau Bencana Akal Sehat?

Oleh: Andre Vincent Wenas

Banjir dan gempa bumi dengan magnitudo yang cukup besar terjadi di beberapa daerah barusan ini (Kalsel, Manado, Sulbar, dan beberapa daerah lainnya).

Kita tinggal di kawasan yang disebut 'ring-of-fire', maka konsekuensi dari fakta bakal banyaknya gempa serta bencana (alam) susulan lainnya semestinya sudah diantisipasi oleh pemerintah daerah setempat.

Artinya semua faktor itu sudah dimasukkan dalam semua pertimbangan Rencana Tata Ruang dan Wilayah, biasanya disebut dengan singkatan RTRW, atau tata-kota (tata-wilayah).

Termasuk tentu spesifikasi bangunan yang ada dalam Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) di daerah tersebut, maupun ijin-ijin lain yang terkait dalam semesta tata kota (wilayah) yang relevan.

Seperti kasus di Kalsel (Kalimantan Selatan) yang barusan saja terjadi. Dikabarkan banjir di sana lebih lantaran dampak pertambangan (batubara), dan perluasan perkebunan (sawit). Termasuk illegal logging serta pengembangan kawasan hunian penduduk yang melabrak banyak derah resapan air di lahan-lahan gambut misalnya.

Karena itulah RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang telah di jadikan perda (peraturan daerah) mesti dengan sungguh-sungguh menjadi acuan gerak pembangunan dan pengembangan sebuah kawasan urban.

Selain aspek fakta lingkungan alam, ada banyak faktor lain yang mesti dipertimbangkan dalam RTRW, seperti faktor sejarah kota (wilayah), situs-situs historis yang mesti dipreservasi, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan atau aspek kesenian dan estetika lainnya.

Prinsipnya, semua faktor tadi mesti berpusatkan pada manusia itu sendiri, yaitu para penduduknya! Mereka mesti dijamin kenyamanan dan kesejahteraannya untuk bisa tinggal dan beraktivitas dan bertumbuh menjadi manusia seutuhnya di kota (wilayah)nya. Itulah visi dan misi administrasi suatu kota.

Sayangnya justru di titik tolak awal pembangunan dan desain pengembangan kota (wilayah) ini kerap terjadi distorsi. Bahasa terangnya adalah, ada terlalu banyak kasus dagang-sapi di situ. Kongkalikong di ruang-ruang gelap balai-kota maupun di gedung DPRD-nya.

Oknum-oknum tertentu dengan kepentingan tertentu kerap mengacak-acak RTRW itu, mulai dari sejak perancangannya, ditekak-tekuk sesuai kepentingan sempitnya sendiri. Termasuk partai-partai politik pun ikut cawe-cawe di situ. Begitu kabar yang amat sering kita dengar.

Belum lagi pada pelaksanaan pembangunannya, korupsi yang mengakibatkan spesifikasi bangunan (proyek) yang jauh di bawah standar membuatnya jadi rapuh.

Dan begitu bencana datang (banjir dan gempa misalnya), maka ambrol dan terkuaklah betapa rentannya desain dan struktur bangunan tersebut. Tapi nasi sudah jadi bubur, sampai memakan korban jiwa.

Di satu sisi, bencana ini juga mesti sekalian dijadikan kesempatan untuk membongkar segala kebusukan lama yang selama ini dipendam. Bangunan-bangunan yang semestinya tahan gempa (desain dan spesifikasinya) mesti dievaluasi kembali, mengapa kok gampang rontok?

Kawasan-kawasan perkotaan yang telah mengalami banjir sampai berulang-ulang tidak bisa dengan gampang 'blame it on the rain!' Ini jelas ada tindakan pembiaran selama ini dari administrasi kota yang tidak bertanggungjawab. Periksa dan usut semua penyimpangan RTRW yang pernah terjadi!

Mesti diusut tuntas, mengapa saluran-saluran irigasi kota yang mestinya bisa mengantisipasi banjir tidak berfungsi? Bagaimana kondisi rumah-rumah pompa, tanggul serta kanal-kanalnya? Bagaimana dengan pengelolaan sampahnya? Dan lain sebagainya.

Dan tentu saja mesti dievaluasi dan diperiksa kembali dengan sangat teliti mengacu pada rancangan tata-kota atau RTRW tadi itu. Dimana semua aspek kewilayahan (lingkungan, sejarah, kesehatan, komersial, pendidikan, dll) itu semua seyogianya sudah masuk dalam semesta perancangannya.

Jangan lagi jadikan RTRW atau rancangan tata-kota yang baik (humanis, dengan segala aspeknya itu) cuma jadi komoditi dagangan dari sementara oknum di balai-kota atau kantor-kantor pemda.

Kalau itu yang masih terjadi, itu namanya bencana akal sehat, bukan lagi semata bencana alam.

Untuk merencanakan yang baik saja sudah gagal, bagaimana pula mau mengeksekusinya dengan baik? Inilah bencana akal sehat, sekaligus juga kejahatan besar terhadap kemanusiaan.

Adagium penutup: "If you fail to plan, you are planning to fail!" Begitu ujar Benjamin Franklin. Dan itu tragedi!

17/01/2021

*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).

Sumber ilustrasi gambar: jurnalbandung.com lalu diolah oleh penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun