Bukankah dewan komisaris memang bertugas mengawasi dalam kapasitasnya sebagai perwakilan pemegang saham (pemilik perusahaan).
Kedua, soal isu yang dipersoalkan Ahok.
Tanpa berburuk sangka kepada Ahok, kita coba memahami latar belakang omelan celotehannya yang viral. Apa saja isunya?
Soal direksi yang kasak-kusuk melobi Menteri di belakang layar, soal peruri dengan proposal proyek 'paperless' 500 milyar rupiah, soal kebiasaan berutang direksi Pertamina, soal hobi impor minyak, soal remunerasi direksi Pertamina yang tidak wajar padahal sudah dicopot, dan sebetulnya mungkin masih banyak pernik persolan lainnya lagi.
Semua isu itu bukan hal yang baru. Itu semua hal yang sudah kronis dan akut di BUMN nampaknya. Tak pernah ada upaya serius untuk memperbaikinya. Ahok pun kesal.
Ketiga, kenapa Ahok sampai meniup peluit? Dan jadi 'whitle-blower'.
Yang ingin kita soroti adalah mengapa Ahok sampai mesti mengomel dan akhirnya berceloteh di media sosial sampai jadi viral kemana-mana. Kenapa mesti sampai begitu?
Ini nampaknya soal saluran komunikasi dalam manajemen korporasi di lingkungan BUMN yang mampet. Kalau saluran komunikasi manajemen formal di internal suatu korporasi itu sehat, tak perlu ada cuap-cuap di media eksternal korporasi itu sendiri.
Jadi jelas ada sesuatu yang tidak beres di jalur komunikasi manajemen internal Pertamina maupun institusi BUMN itu sendiri.
Sangat mungkin bahwa Ahok sudah cukup berupaya selama ini dan bersabar hati untuk memberi kesempatan sambil menanti reaksi positif atas segala arahan yang telah ia berikan kepada jajaran manajemen Pertamina maupun birokrasi Kementrian BUMN.
Tapi rupanya tak ada respon yang cukup memuaskan. Entah lantaran office-politics yang sarat dengan perbenturan kepentingan.