Akibat lanjutannya, sentimen ketersinggungan ini jadi semacam tekanan politis bagi sang paslon untuk mengambil sikap. Toh "sumbangan" PDIP dalam konteks pilkada Sumbar tidaklah signifikan, cuma komplementer saja. Maka setelah mereka menimbangnya dengan matang akan lebih baik jika rekom itu dikembalikan saja.
Semata-mata demi meredam sentimen ketersinggungan sosial masyarakat Sumbar ini, yang ujungnya dikhawatirkan bakal mempengaruhi elektabilitas sang paslon.
Lalu apakah masyarakat Sumbar tidak/belum Pancasilais? Ah ini pertanyaan juga terlalu mengada-ada sih.
Kalau kita berasumsi kasar saja bahwa parpol yang "dicurigai" tidak Pancasilais itu hanya ada satu (PKS), maka representasinya hanya 10 kursi banding 55 kursi lain yang diperoleh parpol nasionalis (Gerindra, Demokrat, PAN, Golkar, PPP, PDIP, PKB dan Nasdem).
PKS jelas tidak mayoritas. Kursi terbanyak ada pada Gerindra (14), disusul Demokrat (10) dan PAN (10), lalu Golkar (8). Lainnya gurem.
Maka mayoritas (84,6%) masyarakat Sumbar jelas memilih partai-partai yang nasionalis, termasuk PDIP.
Sementara itu, dalam pilgub Sumbar ini, PKS Bersama PPP mengusung paslon lainnya, yaitu Mahyeldi-Audy.
Sampai di sini kiranya kita bisa dengan cukup tenang berpikir, bahwa keputusan paslon Mulyadi dan Ali Mukhni itu semata pertimbangan hitungan matematika politik praktis.
Konteksnya adalah sentimen ketersinggungan sosial dari mayoritas (84,6%) masyarakat Sumbar yang nota-bene nasionalis (Pancasilais). Mereka ini yang oleh paslon Mulyadi -- Ali Mukhni merupakan target voters.
Masyarakat Sumbar ini adalah yang waktu pileg kemarin (2019) memilih partai-partai yang nasionalis, yang sekarang diwakili dengan 55 kursi partai nasionalis itu, mayoritas di DPRD Sumbar.
Jadi tidaklah perlu untuk over-acting atau over-reacting dan malah defensif, keras hati dan kepala batu. Apalagi dengan upaya menjustifikasi apa yang salah. Salah ya salah, tinggal minta maaf, habis perkara. Lalu move-on.