*Mbak Puan Maharani: Tarandam Randam Indak Basah, Tarapuang Apuang Indak Hanyuik*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Pertanyaan sederhana untuk soal yang awalnya juga sederhana.
Apakah kalau Puan Maharani tidak mempersoalkan ke-Pancasila-an masyarakat Sumbar lalu pasangan cagub/cawagub Mulyadi dan Ali Mukhni akan mengembalikan rekomendasi dari PDIP?
Jawabannya juga simple sih, ya tentu tidaklah. Lantaran tidak ada persoalan. Paslon itu pun pasti juga akan senang, sama senangnya dengan Puan (PDIP) yang bisa berkolaborasi dengan paslon yang memang kuat di daerah Sumbar itu.
Lalu, kenapa jadi kisruh? Sampai-sampai paslon itu mesti mengembalikan rekom dari PDIP yang punya 3 kursi.
Yah ini soal perhitungan matematika politik praktis saja. Paslon itu kabarnya sudah diusung oleh Demokrat dan PAN. Total 20 kursi DPRD, sudah lebih dari cukup. Syarat minimalnya 13 kursi dukungan. Dapat tambahan 3 kursi dari PDIP ya baguslah, komplementer. Bagus buat keduanya, buat paslon maupun buat PDIP. Â
Jumlah kursi di DPRD Sumbar ada 65, saat ini komposisinya: Gerindra 14, PAN 10, Demokrat 10, PKS 10, Golkar 8, PPP 4, PDIP 3, PKB 3, Nasdem 3.
"Rekomendasi diberikan kepada Mulyadi dan Ali Mukhni. Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang mendukung negara Pancasila," ujar Puan saat pengumuman kepala daerah gelombang V secara virtual, Rabu, 3 September 2020 yang baru lalu.
Rupanya ujaran Puan ini ditafsirkan oleh kalangan luas di Sumatera Barat sebagai semacam sindiran bahwa selama ini Sumbar adalah provinsi yang tidak/belum mendukung Pancasila. Ekses sosial politiknya meluas.
Sentimen ketersinggungan ini dirasa cukup eksesif, dan tentu saja dalam konteks perhitungan politik praktis hal ini bisa membahayakan posisi sang paslon.
Akibat lanjutannya, sentimen ketersinggungan ini jadi semacam tekanan politis bagi sang paslon untuk mengambil sikap. Toh "sumbangan" PDIP dalam konteks pilkada Sumbar tidaklah signifikan, cuma komplementer saja. Maka setelah mereka menimbangnya dengan matang akan lebih baik jika rekom itu dikembalikan saja.
Semata-mata demi meredam sentimen ketersinggungan sosial masyarakat Sumbar ini, yang ujungnya dikhawatirkan bakal mempengaruhi elektabilitas sang paslon.
Lalu apakah masyarakat Sumbar tidak/belum Pancasilais? Ah ini pertanyaan juga terlalu mengada-ada sih.
Kalau kita berasumsi kasar saja bahwa parpol yang "dicurigai" tidak Pancasilais itu hanya ada satu (PKS), maka representasinya hanya 10 kursi banding 55 kursi lain yang diperoleh parpol nasionalis (Gerindra, Demokrat, PAN, Golkar, PPP, PDIP, PKB dan Nasdem).
PKS jelas tidak mayoritas. Kursi terbanyak ada pada Gerindra (14), disusul Demokrat (10) dan PAN (10), lalu Golkar (8). Lainnya gurem.
Maka mayoritas (84,6%) masyarakat Sumbar jelas memilih partai-partai yang nasionalis, termasuk PDIP.
Sementara itu, dalam pilgub Sumbar ini, PKS Bersama PPP mengusung paslon lainnya, yaitu Mahyeldi-Audy.
Sampai di sini kiranya kita bisa dengan cukup tenang berpikir, bahwa keputusan paslon Mulyadi dan Ali Mukhni itu semata pertimbangan hitungan matematika politik praktis.
Konteksnya adalah sentimen ketersinggungan sosial dari mayoritas (84,6%) masyarakat Sumbar yang nota-bene nasionalis (Pancasilais). Mereka ini yang oleh paslon Mulyadi -- Ali Mukhni merupakan target voters.
Masyarakat Sumbar ini adalah yang waktu pileg kemarin (2019) memilih partai-partai yang nasionalis, yang sekarang diwakili dengan 55 kursi partai nasionalis itu, mayoritas di DPRD Sumbar.
Jadi tidaklah perlu untuk over-acting atau over-reacting dan malah defensif, keras hati dan kepala batu. Apalagi dengan upaya menjustifikasi apa yang salah. Salah ya salah, tinggal minta maaf, habis perkara. Lalu move-on.
Kata saudara kita di Minangkabau,
"Tarandam randam indak basah, tarapuang apuang indak hanyuik." (Suatu persoalan yang tidak didudukkan, pelaksanaannya dilalaikan).
06/09/2020
*Andre Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H