Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kandasnya Pilihan Terbaik, yang Tersisa Hanya Mencegah yang Terburuk untuk Berkuasa

12 Agustus 2020   21:47 Diperbarui: 12 Agustus 2020   21:42 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Kandasnya Pilihan Terbaik, yang Tersisa Hanya Mencegah yang Terburuk untuk Berkuasa*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Apa mau dikata, dalam dinamika politik kontemporer di Indonesia kita kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang disebut dengan 'minus-malum'. Yaitu kondisi dimana kita mesti memilih yang paling sedikit buruknya di antara pilihan-pilihan lain yang jauh lebih buruk.

Realitas politik yang menyedihkan memang.

Di sisi lain, kita pun tidak bisa (bahkan tidak boleh) juga untuk golput, karena dengan golput (alias tidak mencoblos) artinya kita sudah memilih juga. Yaitu memilih untuk membiarkan yang terburuk punya kesempatan berkuasa dengan memenangi kontestasi pilkada.

Padahal tugas warga yang berkesadaran politik dalam kondisi 'minus-malum' adalah mencegah yang terburuk untuk berkuasa.

Ini memang pilihan yang pahit. Namun toh harus dilakukan.

Kita bisa memahami kekecewaan yang meluas ini. Adalah sungguh menyebalkan manakala bangsa ini masih terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan yang modelnya 'minus-malum' seperti ini.

Tentu akan sangat ideal jika di dalam suatu kontestasi pemimpin politik kita bisa punya kesempatan untuk memilih yang terbaik di antara pilihan-pilihan lain yang juga baik. The most best among the best, bukan yang the least worst among the worst.

Agak superlatif memang. Tapi bukankah akan jauh lebih indah jika saja kondisi memilih pemimpin politik adalah saat kita memilih yang terbaik di antara pilihan lain yang juga baik kualitasnya.

Kualitas apanya? Ya kualitas karakter dan kompetensi dari figur atau kandidatnya serta kualitas proses rekrutmen politik sejak dicalonkan oleh partai politik. Tidak ada distorsi proses rekrutment dari pusat-pusat kekuasaan yang berbau nepotisme misalnya.

Pilkada Serentak 2020 ini, di banyak daerah kita kembali diperhadapkan dengan pilihan-pilihan 'minus-malum'. Mulai dari para petahana yang tidak pernah transparan dalam pengelolaan anggaran (APBD) sampai permainan politik dinasti yang kental dipertontonkan secara telanjang oleh petahana. Konspirasi atau kolusi bersama para kompradornya telah duduk (didudukkan) di berbagai instansi di bawah pengaruh hegemoniknya.

Ternyata proses transaksi politik dalam pola politik transaksional masih belum bisa absen dalam konstelasi pilkada. Kalau bukan partai politik yang terkooptasi, ya parpol itulah yang mengooptasi lembaga lain yang semestinya independen.

Apa yang telah tertuang dalam Undang-undang No. 2/2008 pasal 10 Ayat 1-3 tentang Partai Politik jelas belum terlaksana dengan baik.

Dalam UU itu sebetulnya telah ditunjukkan tujuan dari partai politik.  Ada dua tujuan partai politik, tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan umum partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia seperti yang dimaksud dalam Pembukaan UUD'45. Yaitu, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan tujuan khusus dari parpol adalah untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.

Juga memperjuangkan cita-cita parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Serta membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sayang realitasnya parpol sebagai wahana rekrutmen calon pemimpin bangsa malah kerap lebih banyak berperan sebagai agen panyalur ART (asisten rumah tangga) yang bakal siap melayani tuan yang membayar (menyeponsori)nya. Sangat menyedihkan.

Yah, biar bagaimana pun para pemimpin ini adalah juga manusia. Dan tidak ada seorang manusia pun yang begitu sempurna. Maka perlu juga lingkungan (habitat) politiknya dijaga sedemikian rupa.

Mungkin oleh karena itulah dulu Montesquieu pernah mengusung konsep pembagian/ pemisahan kekuasaan menjadi tiga. Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Agar terjadi proses 'check and balances', proses saling mengawasi, juga agar terjadi perimbangan kekuasaan. Karena dulu Lord Acton pernah kasih caveat, "power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."

Yang celaka adalah jika ketiga lembaga politik yang seyogianya melakukan proses 'check and balances' ini malah saling berkolusi dan berkonspirasi, maka korupsi berjamaah serta nepotisme (politik dinasti) pun makin marak serta merusak tatanan demokrasi yang deliberatif.

Trias Politica pun berubah ujud menjadi 'Threesome Politica' dimana Legislatif, Ekskutif dan Yudikatif malah berpesta orgi-kekuasaan untuk merampok negara. Sehingga trio ini kerap diplesetkan menjadi (dalam Bahasa Inggris): Legislathieves, Executhieves dan Judicathieves. Para 'Thieves' (pencuri) yang kerjaan memang mencoleng dari negara.

Begitulah kalau kita dari pemilu ke pemilu berikutnya hanya terjebak dalam kondisi kandas. Kandas dari pilihan terbaik, lantaran yang tersisa hanyalah sekedar untuk selalu mencegah yang terburuk berkuasa.

12/08/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia'.

koleksi pribadi
koleksi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun