Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adu Argumentasi Politik: Jangan Sampai Terjerumus dalam Sesat Pikir

1 Agustus 2020   17:36 Diperbarui: 1 Agustus 2020   17:28 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Adu Argumentasi Politik: Jangan Sampai Terjerumus dalam Sesat Pikir*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Memang belajar logika itu tak kenal batas waktu. Senantiasa kita akan berisiko jatuh dalam salah satu model sesat pikir (logical fallacy). Entah itu karena terjebak emosi (suasana hati), atau terseret oleh kepentingan tertentu.

Kepentingannya bisa macam-macam, yang karenanya seseorang bisa sangat emosional dan akibatnya kehilangan logika. Bisa saja lantaran pemujaan terhadap figur atau objek tertentu, jadinya seperti pemberhalaan (idolatry), begitulah kira-kira.

Jadi apa pun yang dianggap mengkritisi atau 'menyenggol' apa yang diberhalakan itu maka tersulutlah emosi. Akibatnya cara pandangnya pun jadi seperti berkacamata kuda. Membabi buta, jadi tidak cerdas alias bodoh. Menyeruduk kesana-kemari laksana banteng luka digoda matador hanya dengan secarik kain merah.

Terlebih dalam dunia (atau diskursus) politik praktis, dimana keterikatan (attachment) terhadap figur maupun instansi (partai) cenderung lebih pekat. Sehingga 'keterikatan' semacam ini malahan lebih menumbuhkan proksimitas atau kedekatan emosional ketimbang penalaran intelektual yang kritis.

Dari banyak jenis sesat pikir, paling tidak ada dua 'logical-fallacy' yang paling sering terjadi dalam diskursus politik praktis, entah itu di medsos maupun di warung kopi. Keduanya adalah: 'Argumentum ad hominem', dan sesat pikir 'straw-man' atau 'red-herring' (ignoratio elenchi).

Pertama, argumentum ad hominem. Ini adalah sesat pikir yang terjadi tatkala Siti dan Harun beradu argumen, si Siti bukannya membantah Harun dengan argumen tandingan yang masuk akal melainkan  menyerang pribadi si Harun.

Ada dua tipe Argumentum ad Hominem: Argumentum ad Hominem Tipe I (abusive) dimana argumen langsung menyerang pribadinya, dengan melecehkannya.

Argumentum ad Hominem Tipe II (sirkumstansial): Ini lebih menitikberatkan hubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya, atau pada kepentingan pribadinya. Misalnya: suka/tidak-suka, kepentingan kelompok/luar-kelompok, dan soal yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Contohnya. Harun berkata, "Siti, Lihatlah si Mamat sekarang sudah jadi buronan polisi, bagaimana kalau kita telaah kasusnya lebih mendalam, siapa saja yang terlibat ya?" Lalu direspon oleh Siti, "Ah, dasar sirik aja loe Har, pendapat orang sirik mana bisa dipakai." Atau misalnya, "Ah dasar keturunan Cina kau, mana bisa dipakai pendapatmu!"

Diskusi jadi macet, karena pokok soalnya (yaitu kasus si Mamat) tidak dibahas, tapi Siti malah menyerang pribadi Harun dan sekaligus juga instansi yang sedang mengusut kasus Mamat. Karena potongan kalimat, "...pendapat orang sirik mana bisa dipakai," bisa mengarah pada Harun maupun instansi kepolisian yang sedang mengusut kasusnya Mamat. Bahkan malah membias sampai ke asal keturunan pula. Duh!

Kedua, ignoratio elenchi. Atau sering disebut dengan 'red-herring' atau 'straw-man'. Ini jenis sesat pikir yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya.

Adanya lompatan dari premis ke kesimpulan seperti itu umumnya juga dilatarbelakangi prasangka, emosi, dan perasaan subyektif.

"A red herring is a fallacy that distracts from the issue at hand by making an irrelevant argument. A straw man is a red herring because it distracts from the main issue by painting the opponent's argument in an inaccurate light." Begitu tercantum di laman Socratic.Org.

Contoh, Harun berkata, "Siti, coba lihat kasus si Mamat yang akhirnya mulai terbongkar, ia barusan ditangkap dan akan bersaksi. Kesaksiannya mungkin bakal menyeret banyak pejabat lainnya. Bagaimana pendapatmu?" Lalu dijawab oleh Siti, "Kepolisian memang memble Jok, mestinya kasus si Abu dong yang diungkap karena si Abu ini lebih kurang ajar lagi kepada negara."

Nah, diskusi pun macet lagi, lantaran kasus Mamat digeser dengan argumentasi bahwa 'lebih parah' kasus si Abu. Diskusi tentang kasus Mamat berhenti.

Kedua sesat pikir ini sering berkelindan satu sama lain. Menyerang pribadi sekaligus mengalihkan kasus. Semuanya lantaran terjebak emosi yang akhirnya menafikkan logika. Tema diskusi pun kacau balau.

Kalau begini terus, tidak mungkinlah terjadi dialektika yang sehat dan cerdas. Sehingga terhadapnya kita sebaiknya diam, supaya tidak terdegradasi dalam berbagai jenis sesat pikir lainnya: 'petitio principii', argumentum ad baculum, argumentum ad misericordiam, argumentum ad populum, maupun argumentum auctoritatis/argumentum ad verecundiam, dll.

"Whereof one cannot speak, thereof one must be silent," rumusan lainnya, "What we cannot speak about we must pass over in silence." - Ludwig Wittgenstein.

01/08/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun