Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Dinasti: Apa Bedanya Jokowi dengan Soeharto, Megawati, dan SBY?

19 Juli 2020   15:52 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:08 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang jadi tidak ada bedanya. Dalam pemahaman politik dinasti yang maknanya ada di kisaran nepotisme, perkoncoan, atau aji mumpung ya jadi sama saja antara Jokowi, Soeharto, Megawati dan SBY.

Paradoksnya, membangun dinasti politik (macam The Kennedy Clan) hanya bisa diraih lewat kawah candradimuka pertarungan argumentatif dengan para lawan oposannya di medan laga politik yang simetris. Tidak jatuh pada skenario murahan politik dinasti, politik perkoncoan yang sarat hipokrisi (kemunafikan).

Dinasti politik yang bermartabat tidak bisa dibangun lewat politik dinasti yang aji mumpung dengan pola dagang sapi di belakang layar.

Lalu apakah kita masih mendukung Jokowi? Ya tentu saja, dengan pertimbangan 'minus malum' (yang paling sedikit buruknya di antara pilihan lain yang jauh lebih buruk). Apa boleh buat.

Begitulah konstelasi pasca 17 Juli 2020, yaitu saat Presiden Joko Widodo memanggil Purnomo (saat ini adalah Wakil Walikota Solo) dan kandidat yang awalnya digadang-gadang Partai PDIP sebagai pengganti FX Hadi Rudyatmo yang sudah akan habis masa jabatannya.

Manyimak laporan Kompas.Com, "Dipanggil ke Istana, Purnomo: Diberitahu Pak Jokowi yang Dapat Rekomendasi Gibran sama Teguh." (baca: ini) kita semua jadi tertegun, lalu terperangah... Lho! Kok begitu sih?

Apa sih urgensinya Presiden Joko Widodo sampai mesti memanggil Purnomo ke istana hanya sekedar memberitahu bahwa rekomendasi PDIP untuk Calon Walikota Solo jatuh ke tangan Gibran? Bukankah itu urusan partai dan kandidat yang bersangkutan?

Apakah pantas presiden memanggil kandidat saingan anaknya hanya untuk urusan seperti itu? Biarlah hati nurani masyarakat akal sehat yang menjawabnya.

Lantaran kejadian itu, kesan yang muncul adalah adanya skenario politik dinasti, yaitu politik yang memanfaatkan hubungan atau kedekatan semata, bukan pertimbangan prestasi dan kompetensi. Akibatnya peta kompetisi dalam kontestasi pilkada jadi asimetris.

Mana bisa seorang Wakil Walikota berhadapan dengan Presiden dalam kondisi simetris? Sangat tidak masuk akal sehat.

Apa sih implikasinya? Jelaslah sudah, tawar menawar dalam dunia politik sangat mungkin terjadi, situ kasih rekomendasi buat anak saya maka saya kasih jatah kursi kekuasaan. Absurd? Tidak. Presiden tersandera secara politik? Jelas. Presiden sekarang bebas tanpa beban? Itu yang absurd.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun