Seperti anak kecil di Taman Kanak-Kanak! Kalau tidak dikasih permen, ya ngambek.
Sungguh pertunjukan yang sangat memalukan. Sementara anggota parlemen lain pun terbungkam seribu bahasa.
Kita tidak tahu apa yang terjadi di belakang layar. Dulu desas-desusnya sih setiap RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan DPR-RI perusahaan BUMN yang diundang mesti bawa 'permen' (pemanis). Atau jatah proyek buat oknum di parlemen. Walahuallam, cuma begitu lah kabar burung yang lepas sangkar bernyanyi.
Apakah lantaran sekarang tidak ada lagi jatah-jatahan seperti itu maka ada yang ngambek? Kita gak tahu juga, semoga saja sih sudah tidak ada lagi ya. Insyaallah. Damai di bumi, damai di hati.
Gerakan 'Bersih-Bersih BUMN' memang telah membuat sementara pihak meradang. Bahwa BUMN sebagai sapi perah atau mesin ATM-nya oknum parlemen juga sudah jadi rahasia umum.
Dan apakah gara-gara semua itu disetop maka ada yang ngambek seperti anak TK yang diambil permennya.
Terlepas dari itu semua, kita sungguh berharap agar kualitas parlemen kita bisa naik kelas. Perdebatan yang terjadi boleh saja keras asal berdasar data, keras bukan kasar!
Argumentasinya mesti yang cerdas dong, bukan asal ngomong dengan emosi yang tidak terkendali. Terkesan norak deh kalau gaya preman pelabuhan dipertontonkan di ruang dewan yang (seharusnya) terhormat.
Apa yang disajikan oleh tayangan Televisi Parlemen itu sebetulnya adalah juga bagian dari proses pendidikan politik. Publik mesti dicerahkan dengan apa saja yang diperbincangkan di dewan yang mewakili mereka.
Kalau materi pendidikan politik publik adalah yang seperti diperlihatkan oleh M.Nasir, tentu amat sangat disayangkan. Tak ada dialektika yang mencerahkan. Hanya terkesan gaya petantang-petenteng tanpa kesediaan mendengar untuk memahami.
Namun ya  sudahlah, kita mengerti juga bahwa memang sulit untuk mendengar dan berusaha memahami duduk persoalan kasus utang BUMN secara obyektif.