Kata mitos, wanita itu berdandan selain untuk memikat lawan jenis, juga untuk menunjukkan superioritasnya dihadapan sesama jenisnya. Semacam kompetisi Miss Real World (nona dunia nyata) gitu, lah.
Dan politik ideal sejatinya adalah demi bonum-commune (kemaslahatan, atau kehidupan adil dan makmur bersama).
Sedangkan politik praktis adalah pelaksanaan (eksekusi) dari ide dan program keadilan dan kemakmuran dalam hidup kebersamaan itu.
Dalam politik praktis para aparat-politik mesti menghadapi realitas keseharian yang nyatanya tidaklah seideal seperti yang dibayangkan semula. Tarik-menarik kepentingan terjadi di sana-sini, semuanya dalam rangka merebut kekuasaan.
Kekuasaan yang bakal dipakai untuk melampiaskan hasrat dan kepentingannya masing-masing. Ada pihak yang memang hasrat dan kepentingannya bersifat altruistik-mulia, namun tidak sedikit pula yang sifat hasratnya itu egoistik, serakah, dan korup.
Tarik menarik kedua kubu ini tentu menimbulkan banyak ketegangan (tension). Karena kedua belah pihak memang akan senantiasa berhadapan dalam hampir setiap perkara (kejadian) yang sengaja dipolitisasi oleh pihak opisisi. Timbulah semacam ketegangan di dunia simbolik dalam berbagai ruang publik.
Kondisi ketegangan sosial yang berkepanjangan pada gilirannya akan meningkatkan suhu politik. Dan suhu tinggi yang berkepanjangan tidaklah sehat. Perlu segera dikompres dengan es. Maka datanglah Bu dokter Reisa mengompres pasien politik Indonesia.
Pasien-pasien di bangsal Cebong, bangsal Kampret dan bangsal Kadrun yang senantiasa bertegangan tinggi satu sama lain tiba-tiba sama-sama cengar-cengir tatkala Bu Dokter cantik ini melakukan visite...eh konpers.
Fenomena konpers oleh bu dokter ini pun jadi semacam kompres yang menurunkan suhu politik yang panas. Semua pasien politik pun adem ayem tentrem kertaraharja di bumi yang gemah ripah loh jinawi ini.
Ini siasat cerdik sang kepala rumah sakit yang selama ini dibikin pusing oleh ulah pasien politik yang memang bandel-bandel ini.