Maka, secara logis muncullah pertanyaan-pertanyaan turunannya, seperti misalnya:
Sejak tahun 2004 Indonesia telah menjadi net-importir minyak, mengapa jauh hari sebelumnya tidak dilakukan eksplorasi terhadap potensi minyak yang melimpah itu sehingga kita tak perlu jadi net-importir? Kenapa ada semacam 'pembiaran' dalam perencanaan strategis dan pelaksanaannya? Ada apa gerangan?
Apakah jauh hari sebelum tahun 2004 ada pihak-pihak tertentu (suatu konspirasi?) yang sengaja 'menghalangi' kegiatan eksplorasi itu? Lalu kenapa sampai sekarang (tahun 2020) kegiatan eksplorasi itu masih terasa mandeg? Atau sekurangnya tidak signifikan percepatannya? Ada apa, atau ada siapa di belakang ini semua?
Kita pun bertanya, faktor-faktor apa saja yang menghambat supply dari hulu? Apakah Pertamina tidak (belum) mampu untuk melakukan besaran eksplorasi yang cukup signifikan untuk memenuhi kebutuhan nasional?
Ataukah mitra lainnya (investor luar negeri) tidak ada yang berminat untuk melakukan PSC (Production Sharing Contract) lagi? Kenapa? Apa sih persisnya yang jadi persoalan atau hambatannya?
Dulu, sekitar pertengahan tahun 1960an kita masih net-eksportir minyak (bahkan salah satu yang terbesar di dunia, sebagai anggota dan bahkan pernah jadi ketua OPEC). Artinya supply (lifting/produksi)nya jauh melebihi kebutuhan nasional. Katanya kita pernah lifting minyak sampai 1,6 juta barrel per hari.
Sekarang kita sudah tidak lagi jadi angggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries). Kalau saja ada organisasi OPIC (Organization of Petroleum Importing Countries) mungkinkah Indonesia jadi ketuanya? Ini pertanyaan nyeleneh, mungkin nyebelin bagi sementara pihak, tapi kok logis juga.
Kita sudah tahu sama tahu, bahwa investasi di industri hulu minyak ini sangatlah tinggi dan penuh risiko. Berapa tingginya investasi di hulu migas?
Menurut laporan PwC (PricewaterhouseCoopers) jika Indonesia di tahun 2018 ingin melakukan eksplorasi, akan menghabiskan dana sekitar USD 10,9 milyar, atau Rp 158 trilyun lebih (dengan kurs Rp 14.500). Itu pun dengan risiko, belum tentu dapat sumurnya, dan kalau pun dapat, perlu beberapa tahun kemudian untuk sampai pada fase produksi ekonomisnya.
Itu secara secara makro. Kalau perhitungan mikro, dalam suatu diskusi terbatas, kitaa memperoleh informasi jika suatu perusahaan ingin melakukan eksplorasi kabarnya mesti menyiapkan dana minimal Rp 300 milyar sampai Rp 1 trilyun (tergantung lokasi eksplorasinya), untuk satu lokasi, dengan risiko tadi, belum tentu dapat sumurnya. Sehingga bisa (mungkin) saja uang Rp 300 milyar sampai Rp 1 trilyun itu tenggelam habis dalam satu kali upaya eksplorasi yang gagal.
Pertanyaannya adakah investor lokal, atau bahkan Pertamina (hulu) mau (mampu) melakukan investasi besar dengan risiko tinggi seperti itu? Apalagi dalam kondisi stagnasi ekonomi semasa pandemi ini.