Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kenapa Tarif BPJS Naik? Ini Tinjauan Aspek Teknisnya!

17 Mei 2020   14:52 Diperbarui: 19 Mei 2020   07:38 1657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Oleh: Andre Vincent Wenas

Diskusi soal BPJS Kesehatan terkait Perpres No.64/2020 berlanjut. Untuk mendalaminya memang mesti masuk ke aspek yang agak teknis ya. Kita coba rangkai dalam tulisan yang tetap ringkas dan mudah-mudahan juga gampang dicerna.

Pertama kita lihat profil pelanggannya. Total peserta ada 223 juta orang. Terdiri dari 96,5 juta orang peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). Dan 90,3 juta peserta BPBI (Bukan Penerima Bantuan Iuran). Lalu ada 36,1 juta peserta yang didaftarkan oleh Pemda.

Untuk BPBI (Bukan Penerima Bantuan Iuran) yang 90,3 juta orang itu terdiri dari: PPU (Pekerja Penerima Upah) Penyelenggara Negara sebanyak 17,7 juta orang, PPU BUMN 1,6 juta orang, dan PPU Swasta 35,7 juta orang, PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) 30,3 juta orang, BP (Bukan Pekerja) Penyelenggara Negara 4,6 juta orang, dan BP Non-Penyelenggara Negara sekitar 491 ribu orang.

Sehingga total kepesertaan per April 2020 adalah 223 juta orang. Wuidiihh banyak ya... Lha ya memang sasarannya adalah seluruh penduduk warga negara Indonesia. Ini program wajib.

Jadi dari profil kepesertaannya yang 223 juta ada 96,5 juta orang yang telah mendeklarasikan diri miskin. Maka 43,3% peserta ini iurannya ditanggung oleh pemerintah via APBN. Saat warga angkat tangan, negara turun tangan!

Sekarang kita lihat kinerja iuran peserta versus beban (klaim)nya. Untuk tahun 2019, iuran PBI yang dibayar pemerintah adalah sekitar Rp 35,8 triliun, sementara dana yang terpakai/klaim adalah Rp 24,7 triliun. Jadi BPJS masih surplus Rp 11,1 triliun dari segmen PBI ini.

Lalu dari segmen mana lagi BPJS bisa dapat surplus? Dari segmen Swasta, surplus Rp 12,1 triliun (iuran Rp 28,6 triliun vs klaim Rp 16,5 triliun). Dan dari ASN, TNI-Polri surplus Rp 1,3 triliun (iuran Rp 16,5 triliun vs klaim Rp 15,2 triliun). Total surplus di kelompok ini jadi Rp 24,5 triliun.

Kalau begitu dari segmen mana yang bikin BPJS Kesehatan defisit di tahun 2019? Ada 3 segmen yang bikin defisit:

Segmen PBPU atau Pekerja Informal, iuran Rp 10,5 triliun vs klaim Rp 31,4 triliun, maka defisit Rp 20,9 triliun. Lalu segmen BP (Bukan Pekerja), iuran Rp 1,9 triliun vs klaim Rp 8,4 triliun, maka defisit Rp 6,5 triliun. Dan segmen yang Didaftarkan Pemda, iuran Rp 12,7 triliun vs klaim Rp 12,9 triliun, maka defisit sekitar Rp 200 milyar. Total defisit jadi Rp 27,6 triliun.

Maka, kalau total surplus Rp 24,4 triliun tadi dikurangi total defisit Rp 27,6 triliun jadinya defisit yang dialami BPJS Kesehatan untuk tahun 2019 saja Rp 3,1 triliun! Dan masih ada total tunggakan iuran sampai tahun 2019 sebesar Rp 7,1 triliun!

Ini baru hitung-hitungan dari pendapatan iuran dikurangi apa yang dibebankan (ditagih/klaim) dari vendor Rumah Sakit/Puskemas kepada BPJS Kesehatan. Belum biaya-biaya operasional organisasi.

Menurut Yustinus Prastowo (Staf Khusus Menkeu), secara agak kasar akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 adalah sebesar Rp 15,6 triliun. Dan yang menarik, menurut beliau juga, sebetulnya biaya perawatan kalau menurut hitungan aktuaris sih sebetulnya semua kelas ada 'subsidi'nya.

Begini hasil hitungan aktuarisnya, biaya perawatan untuk Kelas 1 Rp 286.065, Kelas 2 Rp 184.617, Kelas 3 Rp 137.221. Coba saja kita bandingkan dengan tarif di Pepres 64/2020 yang baru itu:

Berlaku April, Mei, dan Juni 2020: Kelas I Rp 80.000, Kelas II Rp 51.000 dan Kelas III Rp 25.500. Baru nanti per 1 Juli 2020: Kelas I Rp 150.000, Kelas II Rp 100.000, dan Kelas III Rp 42.000.

(Catatan: khusus untuk yang Kelas III atau kelasnya Wong Cilik akan disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 16.500 sehingga prakteknya tetap hanya bayar iuran Rp 25.500. Nanti tahun 2021, untuk yang Wong Cilik di Kelas III tetap ada subsidi, hanya subsidinya menjadi Rp 7.000, sehingga peserta mesti membayar Rp 35.000. Dan untuk PBI tetap dibayar penuh oleh pemerintah alias gratis).

Namun, kalau kondisi keuangan BPJS Kesehatan tekor terus apakah bisa bertahan untuk menjaga program kesehatan semesta bagi bangsa ini?

Padahal, di Perpres 64/2020 ini, untuk segmen PBI di Kelas 3 yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah sebesar Rp 42.000,- jumlah pesertanya akan diperluas dari 'cuma' 96,5 juta orang menjadi 132 juta orang!

Sampai di sini bisa dilihat dengan jelas bahwa spirit dari program ini adalah gotong royong habis-habisan, solidaritas demi kesehatan bangsa, suatu program 'universal health care' dimana negara sungguh-sungguh hadir. Dan partisipasi sosial-politik dari mereka yang diberkati dengan kemampuan ekonomi lebih kuat ikut serta terlibat secara aktif.

Perhatian kita utamanya adalah bagi mereka di segmen PBI, mereka yang memang sudah mendeklarasikan dirinya miskin, dan memang mereka tidak mampu bahkan untuk iuran di Kelas 3. Ini yang harus ditolong. Mari #SamaSamaSehatkanBangsa.

Sementara itu, memang persoalan organisasi BPJS Kesehatan itu sendiri masih harus terus diperbaiki. Kita setuju banget! Pengelolaannya mesti efisien, no-korupsi, mafia obat/alkes diberantas habis, pelayanan ditingkatkan mutunya, dst. Mari #SamaSamaKritisiBPJS.

ilustrasi Oleh: Andre Vincent Wenas
ilustrasi Oleh: Andre Vincent Wenas
Oke, sekarang tentang kenapa mesti naik tarifnya.

Kita ingat dulu, dari data di atas, bahwa yang menyebabkan defisitnya BPJS Kesehatan itu adalah segmen PBPU atau Pekerja Informal yang defisit Rp 20,9 triliun, segmen BP (Bukan Pekerja) yang defisit Rp 6,5 triliun, serta segmen yang Didaftarkan Pemda defisit sekitar Rp 200 milyar. Total defisit di kelompok ini totalnya Rp 27,6 triliun.

Dan menurut Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo, mereka yang di segmen atau kelompok PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) atau kelompok informal (sekitar 30 juta orang) ini tingkat kepatuhannya dalam membayar iuran hanya 54%!

Ini yang juga bikin jebol. Sudah klaimnya bikin defisit, tingkat kepatuhannya pun cuma 54%, artinya kadang bayar kadang lupa bayar. Fifty-fifty lah, belum 100%.

Ini yang perlu terus diingatkan, diedukasi dan/atau dikhutbahi bahwa membayar iuran itu adalah ibadah loh... walau kita sehat namun iuran kita adalah untuk menolong saudara-saudara kita yang lain. Inilah gotong royong, subsidi silangnya. #SolidaritasSehatkanBangsa.

Maka untuk segmen PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan atau BP (Bukan Pekerja) penyebab defisit Rp 27,6 triliun ini ada penyesuaian tarif iuran. Terefleksi di tarif Kelas 1, Kelas 2 dan nantinya di Kelas 3 bagi yang bukan ditanggung pemerintah. Ini semata demi keberlanjutan program jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) yang diselenggarakan negara lewat BPJS Kesehatan.

Karena itulah tarif diperbaiki (atau mau pakai istilah naik juga boleh) untuk nanti di tahun 2021. Untuk Kelas 1 Rp 150.000, Kelas 2 Rp 100.000, dan Kelas 3 Rp 42.000. Segmen PBPU atau BP di sektor informal ini sebetulnya mampu, hanya sering lupa bayar.

Jangan lupa juga bahwa untuk PPU (Peserta Penerima Upah) dengan batas atas gaji plus tunjangan sebesar Rp 12 juta dan batas bawah UMR Kabupaten/Kota, iurannya tetap 5%, dimana aturannya yang 4% dibayar oleh Pemberi Kerja, yang 1% dibayar oleh Pekerja. Ini artinya selain 132 juta orang (setelah perluasan), ada lagi sebesar 37 juta peserta yang tarifnya masih sama.

Penyesuaian iuran ini memang menyasar ke segmen PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) atau Sektor Informal. Ini kelompok non-karyawan yg penghasilannya bervariasi. Maka, sesuai dengan prinsip kemampuan bayar (ability to pay), ya monggo bagi yang mampu bayar lebih tinggi dikasih kesempatan. Tapi bagi yang gak mampu ya silakan ikut di Kelas 3, dengan layanan medis yang sama. Fair dong ya?

Dalam Perpres 64/2020 ini masih dikasih kelonggaran lain, yakni di syarat pengaktifan kembali. Jika sebelumnya mesti bayar tunggakan 24 bulan, maka selama pandemi Covid-19 ini pelunasannya cukup sampai 6 bulan saja. Diskon 50%! Dan jangka waktu pelunasannya pun boleh sampai tahun 2021. Longgar banget khan? Hati-hati malah bisa melorot saking longgarnya... hehe...

Belum melorot juga protesnya? Nih dikasih kelonggaran lagi. Denda diturunkan. Tadinya khan pembayaran denda atas pelayanan adalah  5% dari perkiraan paket INA CBG. Namun, semasa Covid-19 di tahun 2020 ini hanya dikenakan denda 2,5%. Mestinya udah melorot ya saking longgarnya...

Menurut Yustinus Prastowo (Stafsus Menkeu), pesan dari Perpres 64/2020 ini sebetulnya sangat jelas, yakni, "Naikin iuran gak asal naikin, ada pertimbangan masa pandemi juga. Adil dan bijak?" Siap! Sangat adil dan bijak Pak!

Seperti pernah kita sampaikan sebelumnya, bahwa semangat dari program jaminan sosial di bidang kesehatan ini, adalah demi meningkatkan kualitas hidup Manusia Indonesia.

Ini Program yang diharapkan bisa meretas jalan perubahan. Perubahan apa? Perubahan menuju Indonesia yang berdaulat! Berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dan itu hanya bisa diraih jika rakyatnya sehat-walafiat!

Tanpa kesehatan, semuanya ambyarrrr...

Mau cakep/cantik atau kaya raya kek, kalau sakit ya menderita juga. Semua kerja keras jadi percuma khan? Nggak bisa dinikmati juga.

Karena itu, dalam kondisi ekonomi nasional yang boleh dibilang masih terbatas ini, negara memprakarsai suatu program yang bisa menolong rakyatnya untuk jaga kesehatan.

Sistem jaminan kesehatan semesta atau 'universal health coverage' seperti BPJS Kesehatan ini memang bukan hal yang sederhana. Ada kompleksitas yang mesti ditangani sebaik-baiknya. Yang terpenting adalah kita sudah memulainya.

Memang berat, kita sadari itu sepenuhnya, namun negara bersama seluruh rakyatnya harus mewujudkan itu. Sistem jaminan kesehatan nasional ini tidak boleh runtuh, demi implementasi Sila Kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

17/05/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber: 1, 2, 3, 4, dan 5.

Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun