Penambangan yang tidak bertanggung jawab telah meninggalkan banyak lubang yang membuat bumi makin keropos, rapuh.
Pertanian dan perkebunan yang terus menerus menyiram bumi dengan pupuk kimia plus racun pestisida, semua demi ukuran produktivitas yang harus terus meningkat grafiknya. Tanah dan air dieksploitasi tanpa jeda.
Sampai akhirnya unsur-unsur hara yang alamiah menciut kalah, dan mundur dari panggung kehidupan.
Cerobong-cerobong asap pabrik di kawasan industri dan berbagai polusi (asap, suara, cahaya) terus mengotori udara, akibatnya langit pun bocor. Hutan, paru-paru bumi sudah tidak punya daya absorbsi lagi.
Tambah lagi berjuta ton limbah beracun yang berleleran di aliran sungai-sungai, bermuara ke laut, membunuh plankton dan berbagai biota laut penjaga kesimbangan metabolisme bumi. Sampah plastik jadi menu diet Ikan Paus.
Kehidupan alam yang alamiah akhirnya sampai pada titik meregang nyawa. Bumi pun sakit, menjerit dan akhirnya berontak. Bencana alam, penyakit-penyakit yang belum ada dalam buku-buku teks bermunculan. Bakteri dan virus bermutasi tidak karuan. Ilmuwan kebingungan, politikus jadi gagap, rakyat pun meradang dalam keterkurungannya yang terpaksa.
Akibat 'pemberontakan bumi' itu, akhirnya kembali yang jadi korban adalah manusia itu sendiri. Berhenti yang terpaksa membuat banyak keterbengkalaian.
Sepertinya ada semacam pesan umpan-balik (feed-back) yang hendak disampaikan oleh bumi. Cukup sudah, kalian sudah keterlaluan, kembalilah ke alam alamiah. Sekarang atau tidak sama sekali.
Merawat bumi adalah tanggung jawab kemanusiaan kita, sebagai manusia penghuni bumi. Bagi kaum beriman, dari latar agama atau kepercayaan apa pun, patut direnungkan bahwa spiritualitas ekologis  bukanlah sesuatu yang opsional lagi. Harus pula didaratkan dalam kurikulum pendidikan sejak usia dini.
Terpujilah engkau Tuhanku untuk untuk matahari yang luar biasa, bulan, bintang, untuk alam raya yang indah. Laodato Si, terpujilah engkau Tuhan untuk semua yang indah ini.
Bagaimana implementasi seruan Laudato-Si ini?