Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Etika Bisnis Tukang Bubur, Geser ke Sana-sini Profitnya

10 Mei 2020   00:27 Diperbarui: 10 Mei 2020   00:31 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

- Kasus Transfer-Pricing PT Toba Pulp Lestari Tbk, Kerugian Negara & Pelajarannya

Ini bukan soal bubur ayam, tapi bubur kertas. Kasus kirim-kirim bubur dan geser-geser profit lagi rame. Menyangkut PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL).

Suatu perusahaan bisa saja menggeser profit atau biaya ke salah satu anak perusahaan, 'affiliated company' (di dalam negeri atau luar negeri). Itu adalah hal yang biasa saja dalam bisnis. Lumrah kok.

Dalam disiplin ilmu keuangan itu dikenal dengan nama 'transfer-pricing'. Bagian dari strategi atau taktik mengoptimalkan keuntungan (profit optimization).

Sudah ada pula aturan (dasar hukum)nya. Di Indonesia ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.22/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), yang ditandatangani oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati tanggal 18 Maret 2020.

Jadi apa dong kesalahan TPL? Ya sederhana saja, (diduga) menyalahi aturan.

Sesuai aturannya, dokumen ekspor mesti diisi dengan benar. Barang apa yang mau diekspor (kode HS-nya), jumlah, harga, dsb. Dan TPL telah diduga dengan sengaja menulis kode HS-standar internasional yang beda dengan kenyataannya. As simple as that.

Ada dugaan motif penipuan/kecurangan demi pengurangan pajak. Maka implikasinya 'is not as simple as that!'

Ada konsekuensi hukumnya. Investigasi perpajakan bisa langsung bergerak. Efeknya bisa bikin keder. Tahu sendiri khan?

Yang kita mau soroti adalah, bahwa kasus seperti begini ditengarai bukan cuma satu-satunya, bukan yang pertama kali dan bukan pula hanya sekali ini saja. Sudah berkali-kali, praktek rutinlah. Jadi kasus seperti ini ada buaanyak.

Lihat saja akibatnya, secara nasional penerimaan pajak tahun lalu (2019) menunjukan kinerja kurang bagus, realisasi 84,4% dari target. Ada shortfall penerimaan pajak sampai Rp 245,5 trilyun. Padahal tadinya proyeksi shortfall-nya 'cuma' Rp 140 triliun.

Tapi berapa persisnya potential-loss (potensi kerugian) negara akibat praktek transfer-pricing yang ilegal? Tak ada yang tahu persis, hanya ada perkiraan.

Ada artikel yang dimuat di laman Kementerian Keuangan berjudul 'Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara', ditulis oleh Hadi Setiawan, Peneliti Pertama PPRF BKF Kementerian Keuangan.

Katanya untuk kasus tahun 2013 saja ada, "Rumor menyebutkan bahwa potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat praktik abuse of transfer pricing mencapai Rp1.300 triliun/tahun. Jumlah yang sangat mencengangkan karena jumlah tersebut mencapai sekitar 114% dari target penerimaan pajak tahun 2013."

Serem juga ya.

Ada lagi hipotesa yang jumlahnya rada 'mendingan', ditulis oleh Maulida Sri Handayani berjudul 'Panama Papers: Menyingkap Teknik Jahat Penggelapan Pajak', yang dimuat di laman Tirto.Id, katanya:

"...praktik trade misinvoicing menyumbang angka rata-rata $16.759 juta atau Rp204 triliun setiap tahunnya. Jika agregat pendapatan pajak dari trade misinvoicing diasumsikan 15 persen saja, maka seharusnya ada pemasukan Rp30,6 triliun untuk negara."

(Catatan: itu hitungan dengan kurs Rp 12.172,- kalau pakai kurs Rp 14,774,- jadi sekitar Rp 37 trilyun)

Sementara itu, Direktur Eksekutif CITA (Center For Indonesian Taxation) Yustinus Prastowo pernah mengatakan bahwa potensi hilangnya penerimaan pajak akibat transfer-pricing dan tax-planning sekitar Rp 100 triliun tiap tahun.

Perkiraan itu berdasarkan data tahunan Global Financial Integrity. Kabarnya uang haram yang keluar dari Indonesia mencapai Rp150 triliun tiap tahun. Porsi terbesarnya berasal dari penggelapan pajak.

Jadi potential-lossnya tiap tahun ada yang bilang Rp 37 trilyun, Rp 100 trilyun, bahkan sampai Rp 1300 trilyun. Okelah, kita pakai saja angka Rp 100 trilyun ya. Bisa buat apa saja dengan duit segitu?

Kalau alokasi APBD DKI 2020 untuk rehab total (fisik) 56 sekolah adalah Rp 1,4 trilyun, maka biaya rehab 1 sekolah adalah Rp 25 milyar. Dengan duit Rp 100 trilyun cukup untuk membangun sebanyak 4000 sekolah. Lumayan khan. Bukan lumayan lagi.

Atau kalau mau bikin event macam Formula-E yang katanya menelan biaya sekitar Rp 1 trilyun, kita bisa bikin 100 kali balapan dalam setahun. Dua kali dalam seminggu. Puas deh... woooshh... woooshhh...

Kasus macam tukang bubur kertas (PT TPL) selain melanggar etika bisnis (hukum moral), dan akhirnya toh juga menabrak aturan (hukum positif). Ini mesti jadi pelajaran buat semua pihak.

Buat pelaku usaha dan buat aparatus negara khususnya aparat perpajakan. Implementasi PMK No. No.22/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang merupakan pembaharuan dari aturan sebelumnya, masih jadi pe'er buat semua.

Kesadaran dan ketaatan bayar pajak belum mendarat dan belum operasional dalam praktek bisnisnya. Penggelapan pajak via transfer-pricing masih terjadi di Indonesia.

Advance pricing agreement mensyaratkan kematangan akhlak dari kedua belah pihak. Baik pengusahanya maupun aparat perpajakannya.

Praktek transfer pricing internasional biasanya (kebanyakan) dilakukan oleh perusahaan besar. Dan itu cuma sekitar 0,01% dari total pelaku usaha di Indonesia. Apalagi usaha besar yang punya jaringan (afiliasi) di luar negeri, jumlahnya lebih sedikit lagi.

Ini berarti mengincar pembayar pajak skala besar, seperti konglomerasi atau grup industri. Jumlahnya masih sangat bisa dikelola (manageable).

Bagaimana caranya supaya kerjasama yang baik bisa digalang. Karena Advance Pricing Agreement mensyaratkan keterbukaan dari pihak pengusaha. Keterbukaan kepada pemerintah sebelum transaksi dilakukan. Supaya bisa disetujui dan transaksi bisa berjalan aman.

Upaya pemerintah dengan pertukaran data pajak bisalah sebagai upaya awal. Sebagai indikator awal. Yang penting adalah kerjasama dengan para wajib pajak berdasarkan asas saling percaya.

Apalagi bagi para pembayar pajak besar, ini mesti ditempatkan pada kategori khusus. Bagaimana supaya mereka semakin patuh, dan supaya kasus-kasus konyol macam TPL tadi tidak terulang lagi.

Di lain pihak, masih terdengar banyaknya keluhan pengusaha terkait restitusi pajak juga mesti diperhatikan. Kenapa masih banyak yang mengeluh sulit itu. Ini khan kembali ke soal saling percaya tadi.

Bukankah kita sekarang ingin memperluas basis pembayar pajak, bukan malah memeras orang yang patuh bayar pajak?

Tapi kita melihat upaya yang serius dari adminstrasi pemerintahan sekarang. Tinggal signal yang sama hendaknya datang dari pihak pelaku usaha besar, khususnya para praktisi transfer-pricing.

Supaya kita tidak mutar-mutar terus di dalam lingkaran setan saling tidak percaya.

"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." -- Yesus dari Nazareth.

10/05/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7.

Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun