Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Transparansi, Kunci Keberhasilan Negara-negara Skandinavia

23 April 2020   00:44 Diperbarui: 23 April 2020   08:19 1979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pexels.com by monicore

Belum lama berselang, keruntuhan Uni Soviet 'dirayakan' sebagai simbol selesainya sejarah (the end of history). Tentu yang dimaksud adalah tuntasnya dialektika historis, atau tesis-antitesis antara paham kapitalisme versus komunisme/sosialisme.

Lalu apa sintesanya? Diduga adalah paham kesejahteraan (welfare-state) ala negara-negara skandinavia. Memang masih derivatif atau turunan dari kapitalisme, tapi yang sudah mengalami revisi. Kira-kira begitulah.

Negara-negara skandinavia ini sering disebut juga dengan Nordic Country, terdiri dari 5 negara merdeka yaitu: Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, Islandia. Kelimanya ada di bagian utara benua Eropa. Memang ada tambahan beberapa wilayah lain, tapi kurang relevan untuk dibahas di sini.

Sebagai gambaran besaran GDP/kapita/tahun di kelima negara itu (data IMF 2018) adalah sebagai berikut: Denmark US$ 56 ribu lebih, Finlandian hampir US$ 45 ribu, Swedia US$ 54 ribu lebih, Norwegia US$ 80 ribu lebih, dan Islandia US$ 78 ribu lebih. Mereka tergolong negara super makmur.

Apa yang dimaksud dengan kapitalisme yang direvisi? Kira-kira prakteknya tetap menjaga dan mengapresiasi kepemilikan pribadi (private property), tapi kewajiban bayar pajaknya rata-rata hampir setengah bahkan lebih dari yang dihasilkan individu warga negaranya.

Data Research-Gate menunjukan, besar pajak rata-rata dunia adalah 31,37%, rata-rata Eropa adalah 32%, rata-rata negara OECD adalah 41,58%. Sementara di negara-negara skandinavian adalah: Denmark 55,56%, Finlandia 51,25%, Islandia (46,22%), Norwegia 47,2%, dan Swedia 57%.

Pendapatan pajak ini, oleh negara, nantinya diredistribusi dalam berbagai kebijakan demi pemerataan keadilan sosial. Bentuknya ya macam-macam, bisa infrastruktur, jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pokoknya semua hal yang sebesar-besarnya demi ketertiban dan kesejahteraan bersama.

Itu kan sosialis berbungkus kapitalis, atau kapitalis berjiwa sosialis. Lha ya iya! Gak masalah kan?

Sebutlah dengan nama apa saja, tak pandang kucingnya black-n-white atau full-color, yang penting bisa nangkep tikus. Efektif dan efisien. Habis perkara.

Sementara itu, bisa saja suatu bangsa mengaku bertuhan, tapi kalau tidak ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat ya percuma. Lantaran kenyataan yang terjadi di lapangan adalah sekedar komoditisasi tuhan.

Padahal pengejawantahan ketuhanan mestinya ada dalam kasih terhadap sesama. Kasih yang mewujud dalam praktek sosial yang berkeadilan.

Apa sih kunci keberhasilan pengelolaan administrasi pemerintahan negara-negara skandinavia itu? Tak lain tak bukan, transparansi dan keterbukaan bagi keterlibatan publik.

Terbukti dalam beberapa kali pemeringkatan Transparency International kelima negara skandinavian ini senantiasa ada di ranking atas.

Dalam pemeringkatan terakhir (2019-2020) oleh Transparency International, Denmark menduduki ranking 1 bersama Selandia Baru, disusul Finlandia di ranking 3, Swedia di ranking 4, Norwegia di ranking 7, dan Islandia di ranking 11.

Memang, kerja besar administrasi pemerintahan, sebagai representasi mandat rakyat adalah untuk memimpin dan menjaga ketertiban umum serta mengelola distribusi keadilan sosial.

Kewajiban warga negara (semua rakyat) adalah mendukung. Pertama dan utamanya lewat retribusi pajak dan kontribusi modal sosial. Basis dukungan rakyat utamanya adalah kepercayaan. Bagaimana pemerintah bisa dipercaya?

Caranya adalah sedemikian rupa supaya rakyat bisa melihat dan merasakan. Ya melihat, karena 'seeing is believing!' Dan ya merasakan, karena 'touching is experiencing!' Begitulah kepercayaan diperoleh, dan karenanya mendapat dukungan rakyat.

Iya, melihat apa? Dan merasakan apa persisnya?

/www.transparency.org
/www.transparency.org
Begini, supaya dapat dilihat (artinya rakyat bisa melihat) ya harus tembus pandang, harus transparan. Tidak rumit untuk dipahami bukan?

Oke transparansi, itu kan supaya bisa dilihat. Tapi apanya yang mau dilihat?

Yang mau dilihat dengan terang benderang adalah apa saja yang dikerjakan pemerintah. Lalu bagaimana program itu dikerjakan (pengelolaannya), termasuk soal duitnya (ini yang paling sensitif dan penting).

Pertanggungjawaban (akuntabilitas)nya mesti terbuka selama proses berlangsung. Itu yang namanya transparan, artinya bisa dilihat, kalau perlu dipelototi.

Jangan sembunyi-sembunyi seperti main petak umpet. Seperti misalnya hari Rabu 22 April 2020 tiba-tiba laman AntaraNews menurunkan tajuk berita berjudul: "PSI kritik pembayaran 'Commitment Fee' Formula E di tengah COVID-19."

Duhh!!! Efek kejut apa lagi ini?

Gara-garanya Fraksi Partai Solidaritas Indonesia di DPRD DKI Jakarta mengritisi pembayaran commitment-fee Formula E tahun 2021 sebesar Rp 200 milyar (dari tagihan uang muka sebesar Rp 396 milyar).

Lha wong lantaran prahara Covid-19 ini balapannya saja belum jelas kok, apakah bakal bisa diselenggarakan. Ini tiba-tiba duitnya tanpa permisi udah balapan keluar.

Itu hanya sekadar contoh buruk dari praktek administrasi pemerintahan yang sama sekali tidak transparan. Sehingga banyak menimbulkan pertanyaan dan akhirnya kecurigaan.

Malpraktek seperti itu pada ujungnya bakal menjerumuskan warga dan kota/negaranya. Ini bukan teladan yang bisa dipelajari.

Mari belajar saja dan bercermin pada kelima negara skandinavian itu. Soal transparansi pengelolaan administrasi pemerintahannya, maupun keterlibatan warganya.

Terbukti di kelima negara skandinavian itu tingkat produktivitasnya sangat tinggi. Masyarakatnya pun makmur, aman dan sejahtera.

23/04/2020
Andreas Vincent Wenas, Sekjen 'Kawal Indonesia' - Komunitas Anak Bangsa
Sumber: satu, dua, tiga

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun