Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Machiavelli, Sang Pewarta Kenyataan Politik

13 April 2020   13:12 Diperbarui: 13 April 2020   13:35 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Machiavelli, Sang Pewarta Kenyataan Politik*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Saat menulis 'Sang Pangeran' Niccolo Machiavelli nampaknya seperti sedang jadi wartawan ulung yang jujur, tidak hipokrit. Ia bukan sedang jadi rohaniwan yang sedang mengajarkan moral politik.

Ia begitu saja melaporkan apa yang diperbuat para penguasa dan politisi di jamannya. Untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan politiknya. Apa adanya, realpolitik dengan segala intrik dan siasatnya.

Kalau melihat kejadian di jaman sekarang ini, beda-beda tipislah dengan kasus kecurangan di KPU (pusat maupun daerah) yang melibatkan banyak gubernur, bupati, walikota, petinggi partai dan politisi-politisi petugas partai.  Atau juga pilkada model ayat-mayat, kampanye hitam, firehose of falsehood, propaganda hoaks dan yang sejenisnya.

Mungkin mirip juga lah dengan buku 'Menjerat Gus Dur' yang ditulis wartawan muda, cerdas dan berani Virdika Rizky Utama misalnya. Buku itu dari perspektif tertentu cuma beda-beda tipis dengan 'Sang Pangeran'. Sama-sama berupa reportase tentang bagaimana merebut kekuasaan. Intrik licik dan siasat jahat politik, apa pun caranya sikat saja.

Kalau perlu beli saja para tokoh agama yang bisa dibeli. Suruh dia omong seperti apa yang mau kita omong, jangan lupa bungkus dengan ayat-ayat dan ancaman eskatologis.

Kombinasi tekanan dua arah, insentif fulus kalau mendukung, atau ancaman neraka kalau menolak. Ampuh bin manjur untuk berselancar di atas kebodohan publik.

Ya begitulah adanya. Mungkin saking jujurnya cerita yang ditulis Machiavelli sampai-sampai membuat banyak pembacanya terkesima.

Ada juga yang kaget, atau pura-pura kaget, "Kok bisa begitu ya?!" Barangkali ada juga politisi yang setelah baca buku ini malah nyengir-nyengir kuda sambil berkata dalam hati, "Hehe... sialan, tau aja dia!"

Lantaran populernya laporan Machiavelli, maka kelakuan seram, licik, lihay dan jahatnya para pejabat-politisi seperti itulah disebut 'Machiavelisme'. Konotasinya tentu jelek, kelakuan tanpa batas moral, licik, dan menghalalkan segala cara.

Sampai-sampai para pelaku machiavellisme ini dicap juga tidak bertuhan. Bahkan penulis bukunya pun, Nicollo Machiavelli, sekaligus dicap atheis. Tapi ini soal lain lagi.

Anehnya, para pelaku machiavellisme inilah yang seringkali malah menghalalkan cara untuk jualan tentang Tuhan, jualan surga dan neraka. Dengan dandanan mode pakaian yang seolah religius, plus dibumbui hapalan ayat-ayat sekadarnya demi impresi.

Padahal pada galibnya Bung Machiavelli waktu itu sedang mewartakan kenyataan. Artinya kebenaran, kalau kita mendefinisikan kebenaran sebagai yang sesungguhnya terjadi, atau kenyataan. Realitas di lapangan politik praktis.

Ia tidak sedang mewartakan yang seharusnya terjadi, atau yang sebaiknya dilakukan politisi. Nantinya itu jadi buku 'Etika Politik' ala Prof.Franz Magnis-Suseno,SJ yang juga seorang rohaniwan alim. Itu buku tentang kebaikan, sebagai kompas yang seharusnya diikuti oleh mereka yang mau jadi politisi yang baik budi pekertinya.

Tapi Machiavelli sedang melaporkan berbagai macam cara yang dilakukan orang untuk meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Termasuk bagaimana orang juga bisa kehilangan kekuasaan itu. Apa adanya saja.

Juga ada cerita tentang pentingnya penampilan, pentingnya pembentukan citra. Pentingnya bohong dalam realpolitik. Umbar janji saja dulu, soal realisasi lihat-lihat situasi dulu, mana yang lebih menguntungkan si politisi.

Kalau rakyat mudah lupa, tak usahlah dipenuhi itu janji. Terus saja bikin rakyat pusing dan bingung dengan pencitraan. Tebar pesona kesana-kemari, gunting pita disana-sini, umbar penghargaan sampai hilang maknanya. Plus bagi-bagi sembako sambil menyunat dana bansosnya. Di sini senang, di sana senang, dimana-mana perutku kenyang.

istimewa
istimewa
"Never attempt to win by force what can be won by deception." - Niccolo Machiavelli, The Prince.

Kata Bryan Magee tentang 'Sang Pangeran'-nya Machiavelli, "Ia sekedar memaparkan hasil pengamatan yang  akurat dengan gaya penulisan yang sangat cemerlang tentang apa yang benar-benar terjadi secara nyata." (The Story of Philosophy, 1998).

Kita boleh saja jadi benci dengan apa yang dilaporkan oleh Machiavelli dalam bukunya itu. Tentang licik dan hipokritnya politisi-penguasa. Memang begitulah seyogianya, sudah semestinya benci. Benci dengan kelakuan bejat seperti yang dilaporkan Machiavelli.

Jadi bagaimana dong?

Paling tidak khan reportase dari Niccolo di Bernardo dei Machiavelli bisa dijadikan cermin refleksi diri. Sebagai pengingat, dan sekaligus tolok perbandingan terhadap kelakuan kita sendiri dan para politisi-pejabat kita di jaman ini.

Apakah masih sama, atau sudah ada kemajuan walau sedikit?

13/04/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun