Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Geopolitisasi Sempit yang Menjerembabkan Bangsa

7 April 2020   15:32 Diperbarui: 9 Mei 2020   12:02 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politisasi yang dikenal dengan nama politik teritorial. Suatu geopolitik, dimana masyarakat disegmentasi menurut kapling sosial yang berdasarkan kepentingan. Kepentingan apa?

Tentu saja pertama-tama kepentingan politik. Lalu berimbas ke kepentingan ekonomi dan akhirnya jadi soal kultural. Esensi budaya yang plural dibabat habis dengan pola penyeragaman.

Bagi mereka yang bermain dalam ranah politik (wujud fisiknya adalah partai), teritorialisasi atau segmentasi wilayah sosial seperti itu pada galibnya adalah demi perluasan wilayah kekuasaan (power). Lalu diikuti motif perkuatan (strengthening) serta pelanggengan kekuasaan itu sendiri. Itu saja sih semata-mata, tak kurang tak lebih.

Dan manakala kekuatan-kekuatan politik terus bermain dalam geopolitik sempit seperti ini yang kerap terjadi adalah salah urus akibat selalu salah tingkah yang berakar dari salah pikirnya sendiri.

Buta warna politik seperti ini mesti segera disudahi. Kalau kita tidak mau terjebak dalam kubangan kebencian akibat salah pikir, salah perpepsi (salah tangkap) terhadap realitas yang sesungguhnya dari kebangsaan Indonesia.

Realitas kebhinekaan yang bak pelangi berwarna-warni bahkan ada nuansa diantara warna-warna dasarnya. Dan itu adalah realitas kebangsaan yang indah. Bagi mereka yang tidak buta warna dan mampu menangkap subtilitas kebudayaan bahkan yang paling halus sekalipun.

Bagaimana supaya kita tidak rabun sehinga bisa mengapresiasi keindahan seperti itu?

Pandidikan demi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan moral serta apresiasi keindahan (biasanya dalam kesenian) jika terus diolah dengan benar sejak masa balita bisa mengantarkan kita ke tingkat apresiatif terhadap estetika.

Tahu mana yang benar, baik dan berguna (bagi diri sendiri maupun orang lain), serta mana yang indah. Tapi tak ada kata terlambat untuk belajar. Sekarang adalah selalu saat yang tepat.

Di situlah pentingnya membangun daya kritis. Kemampuan untuk melihat gap, kesenjangan antara yang seharusnya dibanding dengan yang terjadi sekarang. Dan mampu mengartikulasikannya dalam bahasa yang bisa dicerna untuk kemudian ditransmisikan kepada orang lain.

Proses transmisi pesan di ruang kritik yang tersedia di ruang publik yang tak terkooptasi. Yang diikuti oleh para partisipannya sebagai subjek-subjek bebas dan terbuka untuk pencerahan budi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun