Politisasi yang dikenal dengan nama politik teritorial. Suatu geopolitik, dimana masyarakat disegmentasi menurut kapling sosial yang berdasarkan kepentingan. Kepentingan apa?
Tentu saja pertama-tama kepentingan politik. Lalu berimbas ke kepentingan ekonomi dan akhirnya jadi soal kultural. Esensi budaya yang plural dibabat habis dengan pola penyeragaman.
Bagi mereka yang bermain dalam ranah politik (wujud fisiknya adalah partai), teritorialisasi atau segmentasi wilayah sosial seperti itu pada galibnya adalah demi perluasan wilayah kekuasaan (power). Lalu diikuti motif perkuatan (strengthening) serta pelanggengan kekuasaan itu sendiri. Itu saja sih semata-mata, tak kurang tak lebih.
Dan manakala kekuatan-kekuatan politik terus bermain dalam geopolitik sempit seperti ini yang kerap terjadi adalah salah urus akibat selalu salah tingkah yang berakar dari salah pikirnya sendiri.
Buta warna politik seperti ini mesti segera disudahi. Kalau kita tidak mau terjebak dalam kubangan kebencian akibat salah pikir, salah perpepsi (salah tangkap) terhadap realitas yang sesungguhnya dari kebangsaan Indonesia.
Realitas kebhinekaan yang bak pelangi berwarna-warni bahkan ada nuansa diantara warna-warna dasarnya. Dan itu adalah realitas kebangsaan yang indah. Bagi mereka yang tidak buta warna dan mampu menangkap subtilitas kebudayaan bahkan yang paling halus sekalipun.
Bagaimana supaya kita tidak rabun sehinga bisa mengapresiasi keindahan seperti itu?
Pandidikan demi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan moral serta apresiasi keindahan (biasanya dalam kesenian) jika terus diolah dengan benar sejak masa balita bisa mengantarkan kita ke tingkat apresiatif terhadap estetika.
Tahu mana yang benar, baik dan berguna (bagi diri sendiri maupun orang lain), serta mana yang indah. Tapi tak ada kata terlambat untuk belajar. Sekarang adalah selalu saat yang tepat.
Di situlah pentingnya membangun daya kritis. Kemampuan untuk melihat gap, kesenjangan antara yang seharusnya dibanding dengan yang terjadi sekarang. Dan mampu mengartikulasikannya dalam bahasa yang bisa dicerna untuk kemudian ditransmisikan kepada orang lain.
Proses transmisi pesan di ruang kritik yang tersedia di ruang publik yang tak terkooptasi. Yang diikuti oleh para partisipannya sebagai subjek-subjek bebas dan terbuka untuk pencerahan budi.