Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kembalinya Kejaksaan dan Quo Vadis KPK?

15 Maret 2020   17:33 Diperbarui: 15 Maret 2020   17:45 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejaksaan mulai unjuk gigi, sementara KPK melempem?

Pengamatan kita bersama tidaklah terbatas pada masalah deskripsi atau analisa terhadap lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan politik yang ada sekarang. Penjelasan maupun analisanya mesti juga tentang cara bagaimana institusi-institusi itu seharusnya berfungsi.

Kita pun sadar bahwa bagaimana lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan politik itu didesain adalah dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang nampak dan mendasarinya serta tujuan-tujuan untuk apa ia dibentuk.

Lembaga seperti KPK misalnya. Ini seyogianya adalah suatu lembaga ad-hoc. Artinya sementara saja sampai keperluannya sudah tidak dianggap urgen lagi.

Fungsi yang dijalankan KPK sementara ini adalah fungsi yang awalnya dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang lebih dahulu ada, yaitu Kejaksaan dan Polisi. Merekalah yang punya wewenang investigasi (penyelidikan dan penyidikan) sampai kasusnya  maju ke meja hijau.

Lalu kenapa perlu ada lembaga ad-hoc seperti KPK? Dan sampai kapan ia mesti eksis?

Untuk pertanyaan peratama jawabannya tentu tidak sulit. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk lantaran praktek mega korupsi di negeri ini demikian parah.

Begitu parahnya sampai lembaga penegak hukum formal yang ada tidak mampu menanganinya. Atau bahkan sudah terkooptasi dalam jaringan mafia koruptor itu sendiri.

Makelar kasus dan berbagai deal (kesepakatan hitam) di kamar-kamar gelap di belakang ruang sidang bukanlah praktek yang asing.

Intinya, hanya ada hukum rimba, siapa kuat kapitalnya dia yang bisa mengatur palu hakim. Sudah kronis dan semakin akut. Maka dibutuhkan kekuatan ekstra untuk melawan mega-korupsi di negeri ini.

Dibentuklah KPK. Di sini tidak perlu diurai kronologi pembentukannya, tinggal berselancar di internet kita sudah bisa tercerahkan.

Hanya yang ingin disampaikan adalah bahwa gonjang-ganjing soal pelemahan KPK yang baru lalu apakah betul demikian?

Apakah KPK itu sendiri sudah terkooptasi juga dalam jaringan para mafia koruptor? Jadi sama dan sebangun saja dengan lembaga penegakan hukum yang dulunya ia ambi alih fungsinya. Jadi buat apa ada lembaga KPK?

Juga muncul pertanyaan, apakah sekarang Kejaksaan dan Polisi sudah mampu untuk kembali menjadi pendekar pemberantasan mega-korupsi? Sehingga pelemahan KPK yang sekarang ini bisa di off-set. Diimbangi oleh kembalinya kekuatan Kejaksaan dan Polisi.

Atau memang Presiden Joko Widodo sengaja menaruh Jaksa Agung dan Kapolri pilihannya supaya bisa mulai mengembalikan fungsi pemberantasan mega-korupsi ke lembaga formal (Kejaksaan dan Polisi).

Atau sementara ini masih diperlukan trisula (tiga ujung tombak), KPK, Kejaksaan dan Polisi?

Jadi sampai kapan lembaga ad-hoc seperti KPK mesti eksis? Untuk pertanyaan ini jawabannya tidak mudah. Perlu hikmat dan kebijaksaan.

Menilik sepak terjang KPK akhir-akhir ini yang agak melempem memang menimbulkan pertanyaan besar sekaligus raca kecewa yang meluas.  

Ada yang bilang, atau mungkin KPK sudah berhasil melakukan pencegahan korupsi, sehingga tidak ada keperluan lagi untuk OTT.

Ini tentu lebih merupakan banyolan yang bernada sinisme.

Sementara Kejaksaan memang mulai ada gigitan yang lumayan. Beberapa kasus di daerah (kasus korupsi di DPRD Sumut dan Sulut misalnya) dan kasus korupsi korporasi milik negara (Jiwasraya dan Asabri misalnya) adalah secercah harapan terhadap kinerja kejaksaan.

Benarkan lembaga Kejaksaan sudah kembali? Artinya sudah mulai bisa dipercaya untuk unjuk gigi secara konsisten. Dan kita mulai bertanya, quo vadis KPK?

Memang tidak gampang menegakkan hukum di belantara mafia (mafia migas, mafia lahan, mafia gula, mafia politik, dll). Seperti upaya menegakkan benang basah. Para penegak yang basah kuyup disiram dollar. Para kriminal kerah putih ini memang lihay.

Seperti Munia Khan bilang, "Every criminal has a good mind, conquered by the devil." Setiap kriminal itu punya pikiran cerdik yang dikendalikan iblis.

Apakah upaya penegakkan hukum ini sampai perlu meruntuhkan langit? Ya, apa boleh buat.

Fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.

Begitu kata Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).

15/03/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun