Hanya yang ingin disampaikan adalah bahwa gonjang-ganjing soal pelemahan KPK yang baru lalu apakah betul demikian?
Apakah KPK itu sendiri sudah terkooptasi juga dalam jaringan para mafia koruptor? Jadi sama dan sebangun saja dengan lembaga penegakan hukum yang dulunya ia ambi alih fungsinya. Jadi buat apa ada lembaga KPK?
Juga muncul pertanyaan, apakah sekarang Kejaksaan dan Polisi sudah mampu untuk kembali menjadi pendekar pemberantasan mega-korupsi? Sehingga pelemahan KPK yang sekarang ini bisa di off-set. Diimbangi oleh kembalinya kekuatan Kejaksaan dan Polisi.
Atau memang Presiden Joko Widodo sengaja menaruh Jaksa Agung dan Kapolri pilihannya supaya bisa mulai mengembalikan fungsi pemberantasan mega-korupsi ke lembaga formal (Kejaksaan dan Polisi).
Atau sementara ini masih diperlukan trisula (tiga ujung tombak), KPK, Kejaksaan dan Polisi?
Jadi sampai kapan lembaga ad-hoc seperti KPK mesti eksis? Untuk pertanyaan ini jawabannya tidak mudah. Perlu hikmat dan kebijaksaan.
Menilik sepak terjang KPK akhir-akhir ini yang agak melempem memang menimbulkan pertanyaan besar sekaligus raca kecewa yang meluas. Â
Ada yang bilang, atau mungkin KPK sudah berhasil melakukan pencegahan korupsi, sehingga tidak ada keperluan lagi untuk OTT.
Ini tentu lebih merupakan banyolan yang bernada sinisme.
Sementara Kejaksaan memang mulai ada gigitan yang lumayan. Beberapa kasus di daerah (kasus korupsi di DPRD Sumut dan Sulut misalnya) dan kasus korupsi korporasi milik negara (Jiwasraya dan Asabri misalnya) adalah secercah harapan terhadap kinerja kejaksaan.
Benarkan lembaga Kejaksaan sudah kembali? Artinya sudah mulai bisa dipercaya untuk unjuk gigi secara konsisten. Dan kita mulai bertanya, quo vadis KPK?