*Menjadikan Manado Sebagai Kota Metropolitan Cerdas & Toleran*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Hegel pernah menulis, "The owl of Minerva spreads its wings only with the falling of the dusk." Manguni (burung hantu) Minerva, sang dewi kebijaksanaan dan filsafat, terbang hanya saat matahari terbenam.
Malam saat matahari sudah terbenam kita berbincang panjang lebar dan dalam tentang berbagai persoalan. Saya dan DR. Johannes Victor Mailangkay,SH,MH, seorang politisi senior dari Partai Nasdem. Ia saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Utara.
Panjang, lebar dan dalam, itu rumus volume atau isi. Memang begitulah, perbincangan yang berisi, dan berbobot. Paling tidak buat saya yang jauh lebih junior. Banyak belajar.
Bertempat di warung kopi atau 'cafe' istilah kerennya di sebuah mall megah di bilangan pusat ibu kota negara. Menjelang tengah malam baru kita bubar, kembali ke tempat masing-masing.
Perbincangan yang menarik dan inspiratif. Mendapat teman diskusi seperti itu merupakan suatu keberuntungan juga.
Sebagai wakil rakyat, Pak Victor, begitu saya menyapanya, punya banyak keprihatinan dan perhatian. Semuanya tentang kemaslahatan hidup bersama (bonum commune). Utamanya bagi masyarakat di wilayah Sulawesi Utara. Lebih khusus soal ibu kota provinsi, Manado.
Bagaimana menjadikan ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Manado, menjadi sebuah kota metropolitan yang cerdas dan toleran. Itu menjadi tema gagasan yang juga merupakan cita-citanya.
Apa itu kota metropolitan? dan apa itu kota yang cerdas? Kalau soal kota yang toleran nampaknya semua sudah paham. Lantaran Manado sudah berkali-kali dinobatkan sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia.
Konsep Kota Metropolitan. Adalah sebuah area dimana aglomerasi, pemusatan pertumbuhan yang berkelanjutan, dengan mengumpulkan beberapa zona pemukiman. Aglomerasi ini terintegrasi ke pusat atau sentra tempat bekerja, tempat bisnis, dan kegiatan komersial dan sosial lainnya.