Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kaum Inteligensia sebagai Sakramen Politik

10 Februari 2020   22:50 Diperbarui: 10 Februari 2020   22:57 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Kaum Inteligensia Sebagai Sakramen Politik*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Berpolitik adalah suatu keniscayaan, tidak bisa tidak. Sewaktu kita ngomel-ngomel kenapa listrik byar-pet, kok di kawasan puncak banyak prostitusi yang katanya syariah (hic!), monas gundul, pasar semrawut, trotoar kotor, banyak pungli, harga cabe mahal, dan berbagai macam komplain sehari-hari, kita sesungguhnya sudah dan sedang berpolitik.

Politik, urusan yang menyangkut kepentingan warga. Arti mulanya sangat baik, etis, dan peduli dengan kesejahteraan bersama. Politik, dari kata polis (artinya kota) tempat kita tinggal menetap dan hidup bersama sebagai warga. Warga yang berasal dari bermacam latar belakang dengan bermacam keperluan.

Yang bikin runyam adalah praktek politik yang dikotori dengan perilaku pragmatik dan oportunistik. Egoisme sektarian, dan libido kekuasaan yang luber kemana-mana dalam bentuk kooptasi keberbagai elemen sosial demi melanggengkan hegemoninya.

Praktek politik kotor senantiasa bersembunyi dibalik narasi besar yang seolah nasionalis dan heroik. Tapi itu semua pada instansi terakhirnya hanyalah topeng. Kasak-kusuk dibalik layar besar itulah yang sesungguhnya menggambarkan jati diri mereka sesungguhnya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa kerap dipakai sebagai tabir yang menutupi hasrat primordialnya, yaitu sila Keuangan Yang Maha Esa. Tampuk kekuasaan hanyalah fasilitas untuk meraup itu dan memuaskan dahaga moneternya. Ketamakan yang laksana minum air laut tak akan pernah puas.

Tercermin dalam politik praktis dalam proses rekrutmen kader partai misalnya. Berani bayar berapa? Adalah pertanyaan primernya.

Politik gelembung (bubble) tanpa esensi keutamaan seperti ini sudah banyak yang pecah, dengan narasi yang akhirnya mengotori ruang-ruang publik. Kasus yang menyangkut korupsi adalah contoh yang paling gamblang.

Untuk mencerna berbagai narasi yang berseliweran di ruang publik bukanlah kerja yang gampang. Disinilah peran kaum inteligensia untuk ambil bagian.

Kaum inteligensia, kaum cendekiawan, kaum intelektual, kaum terpelajar atau apalah sebutannya, adalah mereka yang terpanggil untuk bisa membuka tabir-tabir kebohongan tadi. Untuk menyatakan kebenaran, mengartikulasikan realitas ke dalam narasi tandingan yang mencerahkan. Mereka adalah yang tidak diam walau kerap dipaksa diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun