*Kaum Inteligensia Sebagai Sakramen Politik*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Berpolitik adalah suatu keniscayaan, tidak bisa tidak. Sewaktu kita ngomel-ngomel kenapa listrik byar-pet, kok di kawasan puncak banyak prostitusi yang katanya syariah (hic!), monas gundul, pasar semrawut, trotoar kotor, banyak pungli, harga cabe mahal, dan berbagai macam komplain sehari-hari, kita sesungguhnya sudah dan sedang berpolitik.
Politik, urusan yang menyangkut kepentingan warga. Arti mulanya sangat baik, etis, dan peduli dengan kesejahteraan bersama. Politik, dari kata polis (artinya kota) tempat kita tinggal menetap dan hidup bersama sebagai warga. Warga yang berasal dari bermacam latar belakang dengan bermacam keperluan.
Yang bikin runyam adalah praktek politik yang dikotori dengan perilaku pragmatik dan oportunistik. Egoisme sektarian, dan libido kekuasaan yang luber kemana-mana dalam bentuk kooptasi keberbagai elemen sosial demi melanggengkan hegemoninya.
Praktek politik kotor senantiasa bersembunyi dibalik narasi besar yang seolah nasionalis dan heroik. Tapi itu semua pada instansi terakhirnya hanyalah topeng. Kasak-kusuk dibalik layar besar itulah yang sesungguhnya menggambarkan jati diri mereka sesungguhnya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa kerap dipakai sebagai tabir yang menutupi hasrat primordialnya, yaitu sila Keuangan Yang Maha Esa. Tampuk kekuasaan hanyalah fasilitas untuk meraup itu dan memuaskan dahaga moneternya. Ketamakan yang laksana minum air laut tak akan pernah puas.
Tercermin dalam politik praktis dalam proses rekrutmen kader partai misalnya. Berani bayar berapa? Adalah pertanyaan primernya.
Politik gelembung (bubble) tanpa esensi keutamaan seperti ini sudah banyak yang pecah, dengan narasi yang akhirnya mengotori ruang-ruang publik. Kasus yang menyangkut korupsi adalah contoh yang paling gamblang.
Untuk mencerna berbagai narasi yang berseliweran di ruang publik bukanlah kerja yang gampang. Disinilah peran kaum inteligensia untuk ambil bagian.
Kaum inteligensia, kaum cendekiawan, kaum intelektual, kaum terpelajar atau apalah sebutannya, adalah mereka yang terpanggil untuk bisa membuka tabir-tabir kebohongan tadi. Untuk menyatakan kebenaran, mengartikulasikan realitas ke dalam narasi tandingan yang mencerahkan. Mereka adalah yang tidak diam walau kerap dipaksa diam.