Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demokrasi di Republik Medsos

1 Februari 2020   16:24 Diperbarui: 1 Februari 2020   16:26 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

 "Seperti dalam judo, cara terbaik melayani gerakan lawan bukanlah dengan langkah surut, tapi dengan mengiringi gerakannya itu, memanfaatkannya demi keuntungan sendiri, persis seperti rehat sejenak sebelum menempuh tahap selanjutnya." - Michel Foucault.

Siapa yang belum punya account di Facebook atau di Twitter, LinkedIn, Instagram, Youtube dan medsos lainnya termasuk Whatsapp?

Kalau belum, yang nggak apa-apa juga, Anda tidak akan ditangkap KPK atau petugas pajak yang akhir-akhir ini amat-sangat-aktif kejar target. Hanya saja -- virtually speaking -- you're out of the new-world's orbit!

Cuma hilang kesempatan untuk mendeteksi denyut nadi komunitas pasar atau konstituen politik yang sedang berkembang saat ini.

Konon, Facebook memiliki 1,3 miliar pengguna dan Instagram 800 juta pengguna di seluruh dunia. Pengguna WhatsApp mencapai 1,5 miliar yang aktif di 180 negara.

Mungkin inilah bentuk republik (virtual) yang paling demokratis di dunia! Setiap kita bebas menentukan, mau partisipasi (add/confirm) atau keluar (remove/delete) dari Republik Medsos ini.

Ketika Thomas Friedman (The World is Flat, 2005) melansir 10 kecenderungan "perataan dunia" (world flatteners) kita diingatkan kembali akan apa yang dulu pernah diwanti-wanti Alvin Toffler (triloginya: Future Shock, Third Wave & Power Shift) tentang 3 change-drivers yang bakal memicu dan memacu perubahan: teknologi, ekonomi, dan sosial.

Tatkala terjadi intervensi teknologi maka ia akan mendorong perubahan ekonomi (oikos-nomos, pengaturan rumahtangga) dan ini pada gilirannya akan mendorong perubahan sosial, gaya hidup (lifestyle).

Dan bagi para pebisnis, perubahan gaya hidup berarti perubahan pasar. Bagi Politisi ini adalah sinyal untuk mereposisi kebijakan.

Kesepuluh trend itu: robohnya tembok berlin (serentak dengan munculnya teknologi Windows oleh Microsoft); go public-nya Netscape yang menandai merebaknya internet sampai menembus titik "critical-mass"; teknologi workflow-software; opensourcing; offshoring; supply-chaining; insourcing; in-forming; dan the steroids, yaitu semacam pil doping yang mengakselerasi kesembilan trend tadi, bentuknya: digitalisasi-mobilisasi-personalisasi-virtualisasi.

Kesepuluh kecenderungan tadi saling bereaksi kimia satu sama lain dan tadaaa..... lahirlah dunia baru, a whole new world!

Berhadapan dengan teknologi, seolah kita ada dalam dilema: di satu sisi ia membongkar kebudayaan termasuk nilai-nilai dan tradisi etis, namun di sisi lain kita sekarang -- de facto -- tidak bisa hidup tanpa teknologi.

Prof. Franz Magnis-Suseno (Teknologi dalam Tayangan Filosofis, 2005) menegaskan, karena tanpa teknologi modern, kita tidak dapat menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh masyarakat. Juga, karena teknologi bagaimanapun juga tidak dapat ditolak, kemenangan budaya berdasarkan teknologi sudah tidak dapat digagalkan lagi.

Sehingga, mengikuti alur pikiran Michel Foucault di atas, seperti dalam pertandingan judo, tak ada lagi pilihan selain masuk sepenuhnya dalam teknologi, mempelajarinya dan menguasainya lalu memanfaatkannya dalam banyak bidang kehidupan demi memecahkan pelbagai masalah di depan kita.

Demokrasi pasar maupun demokrasi politik di Republik Medsos ini telah menembus batasan ruang (kamar tidur, caf, kantor, domestik, internasional) dan waktu. Rumusnya : 365/7/24, 365 hari setahun, 7 hari seminggu dan 24 jam sehari. Alias non-stop, buka terus, tak ada henti jedanya.

Pendobrakan spatio-temporal (ruang-waktu) seperti ini adalah 'game-changer' yang menuntut perubahan paradigma para penentu kebijakan (politik maupun bisnis).

Perubahan ke arah mana? Yang jelas platform keterbukaan informasi publik sudah tersedia. Tinggal diisi dengan content yang baik, bukan yang membohongi. Platform keterbukaan informasi publik ini akan relatif cepat membongkar kebohongan-kebohongan publik.

Waspadalah!

01/02/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun