Memang, tatkala kerja politik ditangani oleh mereka yang tingkat mentalitasnya masih dominan berorientasi di sekitaran kebutuhan hidup dan siklus produksi-konsumsi, maka kecenderungnya akan menjadikan politik sebagai mata pencaharian utama.
Konsekuensinya, dengan politisi model begini jangan heran kalau mereka miskin dalam visi dan misi politiknya. Jangan pula berharap mereka bakal peduli untuk memperjuangkan keberagaman. Mereka tak akan tahan terhadap perbedaan pendapat dan kritik. Dapat dipastikan, sindrom yang menyertai politisi kaliber cetek seperti ini bakal mudah terlibat kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Mereka melihat forum publik sebagai arena tipu sana tipu sini. Bukan arena dialog (perbincangan dua arah yang relevan, logis dan mencerahkan). Forum publik bagi mereka bukanlah arena dialog. Demi menutupi skenario sembunyi-sembunyinya, mereka melancarkan siasat duolog, siasat pengelabuan, dengan tujuan membingungkan rakyat, dan akhirnya memang membodohi rakyat luas.
Padahal seperti yang diyakini Hannah Arendt, ruang publik adalah suatu arena untuk aksi politik (dengan konotasi yang positif). Aksi politik tak bisa lepas dari forum-publicum. Aksi politik mengandaikan suatu perbincangan, suatu kerja komunikasi, wicara, dialog. Dan arenanya adalah forum-publik.
Dengan suatu praksis komunikasi maka keberagaman pelaku politik dapat saling menjalin koordinasi satu sama lain. Perbincangan politik itu terjadi di ruang publik.
Yang tidak disadari oleh para petualang politik yang kerap melakukan pengelabuan publik, yang artinya juga melecehkan daya nalar publik, adalah di tengah keberagaman masyarakat itu selalu ada kandungan potensi daya kritis.
Potensi daya kritis ini ada di dalam diri para cendekiawan sejati yang memang panggilan hati-nuraninya selalu tergerak untuk mencari kebenaran. Mereka senantiasa ada di tengah masyarakat, lahir dari rahim keprihatinan sosial.
Mereka senantiasa menggugat realitas sosial dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa esensi atau sebab musabab suatu fenomena sosial terjadi? Apa konsekuensinya? Siapa aktor-aktor dalam jejaring fenomena soisal-politik ini? Dan seterusnya. Eksplorasi pertanyaan tentang 'mengapa' tak akan berhenti sekedar pada gejala permukaan (symptom)nya saja. Ia akan terus menggali sampai ke akar persoalannya.
Maka penting untuk mengelola ruang publik ini. Agar terus diisi dengan wacana yang kritis dan membangun. Wacana yang membongkar idolatry (pemberhalaan) terhadap apa pun. Agar akar persoalan bisa terbongkar dan dengan demikian bisa dicari solusi yang tuntas. Ibaratnya bukan sekedar kasih parasetamol supaya rasa pusingnya hilang, padahal penyakit sesungguhnya ada di kedalaman fisik dan psikis pasiennya.
Suatu diskursus yang sehat, artinya yang kritis dan mencerahkan mesti terus diupayakan di dalam ruang-publik (public-sphere) yang dikelola dengan semangat keterbukaan (transparansi).Â
Dari diskursus di ruang-publiklah akan terbentuk ingatan sosial (sosial memory) yang diwariskan generasi ke generasi. Peradaban dan akhirnya kebudayaan akan membentuk konturnya. Itulah arena tugas dan panggilan setiap cendekiawan, untuk berkiprah menorehkan legacy-nya.