Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Avatar yang Kehujanan

8 Januari 2020   15:16 Diperbarui: 8 Januari 2020   15:18 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fakhrudin juga menambahkan, "Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct run-off akan cenderung terus meningkat." Seperti dilaporkan CNN Indonesia Rabu, 8 Jan 2020.

Begitu penjelasan ilmiah dari LIPI. Hujan ekstrim di hilir (Jakarta) dan perubahan alih fungsi lahan. Kedua soal ini mestinya mendapat perhatian antisipatif dari pemerintah (pusat maupun daerah).

Belajar dari pengalaman administrasi kota Jakarta terdahulu, solusi persoalannya tidaklah terlalu rumit sebenarnya. Bersihkan sampah dan normalisasikan kembali bantaran sungai yang selama ini tidak normal!

Tempat dimana air mengalir mesti dilancarkan. Program bersih-bersih sampah di sungai, saluran air (got, gorong-gorong), bendungan, pintu-pintu air dan jalanan. Pasukan warna-warni (oranye, biru, ungu, merah, dll) mesti optimal difungsikan, kalau mereka masih ada.

Kali atau sungai yang bantarannya dijarah pemukiman liar sehingga aliran airnya jadi tidak normal ya mesti dinormalisasikan kembali. Bagian-bagian pinggir sungai yang rawan longsor dan berpotensi meluap airnya saat hujan ekstrim mesti dibetonisasi ya lakukan betonisasi. Buat juga semacam tanggul beton untuk daerah yang rawan luber air sungainya.

Sehingga kalaupun terjadi curah hujan yang ekstrim, air itu akan relatif cepat mengalir (dialirkan) ke laut. Ya ke laut!

Kita semua memang bukan Avatar alias juru-selamat umat manusia secara keseluruhan. Namun kita adalah avatar-kecil di area kita, di lingkungan pengaruh kita masing-masing. We do our best and let God do the rest, kata orang Betawi yang lagi kursus di LIA.

Ibarat Avatar-kecil yang lagi kehujanan, bukan lalu menuding air hujan yang sedang mengantri dari hulu ke hilir. Tapi di area masing-masing kerjakanlah apa yang ada dalam wewenang dan jadi tanggung-jawabnya. Misalnya di skala rumah pompa, pastikan ia berfungsi baik dan tidak kehilangan minyak solarnya lantaran dijual oleh oknum.

Di pundak para pemimpin (dan pejabat) terletak tanggung jawab sosial yang besar sekali. Noblesse oblige! Semakin tinggi kedudukan sosialnya, semakin besar obligasi (kewajiban) terhadap masyarakatnya.

Yang jelas, mengatasi soal banjir di hilir bukanlah dengan menuding yang di hulu. Tidak lepas tangan, tapi turun tangan. Bukan dengan melempar tanggung-jawab, tapi dengan mengambil tanggung-jawab.

Narasinya sih sebetulnya simpel saja, namun ya mesti dikerjakan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun