Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Caveat dari Paris: Pendidikan sebagai Serum Anti-Rapuh!

30 Desember 2019   16:56 Diperbarui: 30 Desember 2019   16:51 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penanggulannya butuh usaha khusus, sistematis dan serius. Menurut Arif Satria, dengan penurunan 0,6 poin pertahun itu maka diperlukan 27 tahun untuk menyamakan posisi Indonesia dengan negara maju. "Tentu kita mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengatasi masalah stunting, karena stunting ini menjadi variabel penting dalam indeks kelaparan global. Bila masalah ini ditangani dengan kerja ekstra keras, maka waktu yang diperlukan untuk setara negara maju maka akan lebih cepat lagi," katanya.

Dari soal ketertinggalan inovasi, daya saing dan pangan yang kenyataan banyak terbuang-buang itu, apa pelajaran yang bisa kita tarik?

Artinya, kita ditantang jangan hanya berpikir dari sisi permintaan (demand). Ekonomi selalu bicara soal keseimbangan sisi demand dengan sisi supply (penawaran/ pasokan)nya.

Agaknya sejak lama kita hanya dipacu untuk berpikir semata dari sisi permintaan, maka kini kita juga mesti seimbang dengan melihat dan mengusahakan sisi penawarannya. Produktivitas yang dipacu daya inovasi jadi kunci.

Diharapkan agar Indonesia bisa menjadi eksportir berbagai macam produk dan jasa. Produk pertanian, manufaktur, jasa, budaya, kreativitas, dan lain sebagainya. Jadi produsen yang kreatif dan inovatif di pasar global.

Maka pola pikir dan sikap mental mesti diubah. Bahwa selama ini semangat untuk swasembada produk pertanian (pangan) adalah bagus saja, namun tidak cukup. Dalam jangka panjang targetnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi bagaimana bisa ekspor.

Korea sebagai contoh sukses negara yang tidak hanya ekspor produk teknologi/ manufaktur, tetapi juga ekspor budaya. Korea Selatan berhasil mengubah pemikiran dari permintaan ke penawaran.

Tantangan industri dan perdagangan global semakin intense, juga kaotik. Aspek kesadaran hukum internasional sangat imperatif, disamping kemampuan menciptakan produk (penawaran) baru. Daya inovasi bangsa mesti dipacu kencang, sambil juga mengamankan hak kekayaan intelektualnya lewat ekslusivitas paten yang diakui dunia internasional.

Soal paten ini misalnya, PCT (Patent Cooperation Treaty) lembaga dibawah WIPO (World Intelectual Property Organization) dalam Yearly Review 2019 The International Patent System mencatat untuk tahun 2017 Indonesia mendaftarkan 8 patent, tahun 2018: 7 patent. Bandingkan dengan Jepang yang 2017: 48.205 patent, dan 2018: 48.702 patent!

Friksi yang sering kita alami dengan negeri jiran Malaysia soal hak cipta produk budaya seyogianya bisa jadi pelajaran pahit. Malaysia di tahun 2017 mendaftarkan: 141 patent, dan tahun 2018: 143 patent. Dua puluh kali lipatnya Indonesia!

Untuk mengubah pemikiran dari sisi permintaan ke sisi penawaran haruslah didukung pendidikan. Ini seperti software-nya dalam sistem ekonomi penawaran. Proses konsientisasi bangsa lewat jalur pendidikan merupakan imperatif, tak bisa ditawar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun