Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Noblesse Oblige

28 Desember 2019   20:36 Diperbarui: 28 Desember 2019   22:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penemuan yang mengagumkan dari penelitian sejarah dan antropologis menyebutkan, "... that man's  economy, as a rule, is submerged in his social relationship. He does not  act so as to safeguard his individual interest in the possession of  material goods; he acts so as to safeguard his social standing, his  social claims, his social assets. He values material goods only in so  far as they serve this end." (Karl Polanyi, The Great Transformation,  1944). Sehingga masyarakat yang kehilangan perbendaharaan kata-kata  seperti legacy (reputasi, nama baik), noblesse-oblige (tanggungjawab  moral/agung), adalah cerminan masyarakat koruptif par-excellence.

***

 Bersama kita (bisa) bingung, mengapa sebagai pemilik tambang sumberdaya  alam dan produsen minyak tatkala harga BBM dunia naik, rakyatnya malah  (tambah) sengsara untuk menanggung beban (dari loss opportunity)  pemerintah? Baru-baru ini Michael L. Ross, mahaguru dari University of California menulis analisanya di jurnal Foreign Affairs (Blood Barrels,  Why Oil Wealth Fuels Conflicts, May/June 2008), bahwa sebagian besar  dunia  sudah lebih damai dibanding 15 tahun yang lalu, kecuali di  negara-negara kaya minyak. 

Rejeki minyak kerap malah ikut membocorkan  kekuatan dan potensi perekonomian negara, menjadi sumber keresahan  sosial dan kerusuhan etnis-suku terutama di daerah tambang minyak itu berada. Sepertinya ada kutuk (the oil curse),  semakin kaya dengan  sumber minyak, malah semakin tidak kreatif dan melemahkan daya juang. 

Prof.Ross mengingatkan, "...problem with the current standards is that  even though exporting governments are pressured to disclose the revenue they collect, they are not expected to reveal how they spend the money. Oil revenues often vanish into the nooks of state-owned oil  companies or into governments' off-budget accounts." 

Contoh yang  diberikan adalah Angola, seperti yang dilaporkan IMF bahwa penerimaan  minyak antara tahun 1997-2002 paling tidak sebesar US$4.2 Milyard tidak  tercatat (dan tidak bisa dipertanggunjawabkan). Ironisnya, Angola adalah  negara yang tingkat kematian bayi (infant mortality rate) terbesar  kelima di dunia.

***

Para pelaku pasar (pengusaha  dan profesional) serta para pengatur perilaku pasar (regulator) bukanlah  aksidentalia yang lewat begitu saja dalam momen sejarah Indonesia  kontemporer. 

Masing-masing harus ambil bagian dalam perannya  masing-masing. Ataukah hidup para petinggi dan kita sebagai professional  tinggal seperti yang digambarkan George Orwell dalam bagian akhir novel  Animal Farm, "...their life, so far as they knew, was as it had always  been. They were generally hungry, they slept on straw, they drank from  the pool..." Tragis dan membosankan.

*) Artikel ini pernah terbit di Majalah MARKETING edisi Juli 2008.

*Andre Vincent Wenas*,DRS,MM,MBA. Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun